![]() |
(Credit foto : Big Foot)
|
Terlepas dari siapa yang benar atau
siapa yang salah dan bukan pula mencari pembenaran atas suatu golongan bahwa
kemerdekaan sepatutnya akan selalu disertai oleh senyuman berbagai pihak yang
menikmatinya. Begitu pula seharusnya dengan dunia penerbangan Indonesia. Dunia
penerbangan sejatinya telah ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia
baik militer maupun sipil. Sejarah yang tak bisa dilupakan adalah bukan milik
pemenang perang, namun ada pada diri kita dan keturunan kita nantinya.
Memasuki usia kemerdekaan Indonesia yang
ke 71, dunia penerbangan semakin menempati dirinya pada posisi yang memiliki
taruhan tinggi dari segi perekonomian negeri. Tentu saja, karena wilayah
Nasional Indonesia yang kita ketahui adalah dua per tiga lautan, dan hanya satu
per tiga daratan serta semua bagian ter-cover oleh tiga per tiga bagian wilayah
udara. Walaupun kedirgantaraan baru eksis sejak awal abad ke dua puluh, dimana
sebelumnya segala perhubungan untuk penunjang utama perekonomian adalah kapal
laut.
Sejak Wright bersaudara berhasil
menerbangkan karyanya dan kemudian terus dikembangkan maka pada akhirnya dunia
kemaritiman seluruh dunia menggunakan pesawat terbang demi tercapainya
efektifitas dan efisiensi waktu sehingga perputaran perekonomian dunia dapat
semakin cepat dan tepat sasaran. Ekspansi dari satu Negara ke wilayah lainnya
baik bertuan maupun tak bertuan semakin tinggi diminati dari akibat semakin
mudahnya mobilisasi maritim akibat adanya pesawat terbang dan bertransformasi
dalam dunia kedirgantaraan.
Hanya disayangkan, ketika dalam 71 tahun
kemerdekaan Republik Indonesia, dunia penerbangan nasional Indonesia kerap saja
diliputi berbagai permasalahan. Semakin bertambahnya pekerja pilot asing
bercokol di negeri Indonesia berbanding lurus dengan jumlah lulusan Sekolah
Pilot Ab Initio pilot-pilot muda yang kurang mendapatkan kesempatan untuk
bekerja di negeri sendiri.
Sejatinya, medio satu dekade yang
lampau, Indonesia melakukan ekspansi bisnis dunia penerbangan dengan
berkembangnya berbagai macam maskapai baru. Saat itu dengan adanya Sekolah
Pilot PLP Curug (sekarang STPI) yang tidak mampu mencukupi jumlah lulusannya
demi mengisi posisi pada maskapai-maskapai baru tersebut. Ada dua langkah
positip yang diambil Indonesia saat itu, dengan memberi ijin Sekolah Pilot
swasta ikut mendidik para calon penerbang dan membuka kesempatan para pekerja
pilot asing masuk ke Indonesia hingga beberapa posisi kosong terisi.
Satu dekade lebih terlewati, dari defisit menjadi surplus. Sungguh memperihatinkan, karena beberapa gejolak ekonomi dunia menyebabkan beberapa maskapai ataupun perusahaan penerbangan kolaps menjadi salah satu sebab semakin cepatnya pertumbuhan pilot baru tanpa lapangan pekerjaan yang memadai. Karena kondisi ekonomi pula, dapat menjadi sebuah kemungkinan penyebab beberapa perusahaan penerbangan lebih memilih mempertahankan kontrak pilot asing daripada mendidik generasi muda lulusan asli Indonesia karena biaya mendidik seorang pilot diduga sangat mahal.
Prinsip ekonomi, dimana dengan sedikit
pengeluaran dapat memperbesar profit adalah hal yang wajar bagi sebuah
perusahaan. Tidak ada satu pun perusahaan yang ingin jatuh dari dunia bisnis
yang digelutinya. Dilematis, benar sekali bahwa banyak pula diantara pekerja
pilot asing tersebut kebanyakan hanya mengambil jam terbang saja dan ketika
mencukupi mereka kembali lagi ke negaranya dan bagi pilot ahli akan
dipertahankan berbanding terbalik dengan pilot-pilot muda jobless yang semakin
bertambah jumlahnya.
Resiko menganggur setelah lulus menjadi
pilot adalah mimpi buruk anak-anak muda Indonesia. Siapa yang lupa, bahwa
menjadi pilot adalah cita-cita mulia dan sangat favorit bagi anak-anak sekolah
di seluruh dunia. Seperti Dokter, Insinyur bahkan Presiden bahwa menjadi pilot
adalah cita-cita luhur dan sangat membuat generasi muda menjadi mampu bermimpi
tinggi demi sebuah cita-cita. Dengan biaya sekolah yang mencapai delapan ratus
juta rupiah, juga menjadi mimpi buruk bagi setiap orang tua ketika habis
banting tulang demi tercapainya cita-cita sang anak, namun harus berakhir
tragis karena setelah lulus Sekolah Pilot ternyata si anak jobless.
Dalam semangat kemerdekaan Indonesia
yang ke 71 ini, sewajarnya dunia penerbangan Indonesia berharap akan ada solusi
dari permasalahan ini dan setiap mimpi buruk regenerasi dunia penerbangan
Indonesia dapat terselesaikan dengan baik. Dengan membuka “keran” yang
tertutup, yakni ucapkan kata “STOP” dan lakukan! bagi ketidakkelanjutan kontrak
kerja pilot asing di negeri Indonesia agar putra-putri terbaik bangsa ini bisa
berkarya dengan penuh kebanggan di atas bumi Indonesia yang “gemah ripah loh
jinawi”.
Salam Penerbangan!!!
Merdeka!!!
Oleh: Capt Teddy Hambrata Azmir (Komite
Penerbangan Umum Ikatan Pilot Indonesia)




No comments:
Post a Comment