“Kalau
umat muslim yang memahami agama, tentunya memahami bahwa jihad yang paling
utama adalah menahan diri dari nafsu yang melawan diri kita sendiri seperti
nafsu angkara murka. Ketika jihad diartikan sangat sempit hanya untuk memerangi
atau berperang melawan orang kafir, maka kemudian ini bisa membawa potensi
perpecahan di tengah-tengah masyarakat,” ujar Direktur Wahid Foundation,
Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid atau yang biasa disapa Yenny Wahid, di
Jakarta, Kamis (12/10/2017).
Menurut
Yenny, konteks jihad sekarang sangat berbeda karena perjuangan itu tidak bisa
hanya dengan perjuangan fisik, tetapi perjuangan melalui diplomasi, perjuangan
melalui dialog. Itu lebih membuahkan hasil dibandingkan dengan melakukan
pengeboman bunuh diri yang hanya bisa menyengsarakan masyarakat secara umum.
“Kita
lihat bahwa sebagian besar korban dari bom bunuh diri adalah muslim. Ini saja
sudah menunjukkan bahwa kita menyakiti umat islam sendiri kalau kita terjebak
dalam perilaku jihad fisabilliah yang keliru tadi,” ujar putri ke-2 dari Presiden
RI ke-4, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, ini.
Karena
itu, lanjut Yenny, harus gencar dilakukan sosialisasi bahwa konsep jihad yang
paling utama bukan jihad yang berdimensi kital atau perang, tetapi jihad yang
melawan hawa nafsu itu sendiri. Kedua definisi dari jihadnya itu sendiri atau
ekspresi dari jihad kital itu bisa bermacam-macam, termasuk berbuat kebaikan
bagi orang lain, bagi bangsa, bagi negara, membuat terobosan-terobosan yang
positif, atau misalnya juga menciptakan penemuan-penemuan baru bagi para
ilmuwan, atau juga bagi para dokter dengan pengabdian hidupnya untuk
kemanusiaan.
“Itu
juga merupakan jihad. Dan itu yang justru harus kita lakukan. Ini jihad yang
membawa maslahah. Kalau jihad yang dengan konsep kital itu adalah jihad yang
membawa kerusakan, massadah,” kata wanita kelahiran Jombang, 29 Oktober 1974
ini.
Untuk
itu dirinya mengimbau agar masyarakat melakukan jihad itu adalah jihad yang
membawa kebaikan, membawa maslahah bagi masyarakat lainnya yang langsung bisa
diukur. “Bukan jihad yang membawa petaka, kematian, kerusakan bagi orang lain,
terutama bagi masyarakat muslim,” ujarnya.
Yenny
menegaskan edukasi kepada masyarakat harus terus diberikan karena bangsa
Indonesia faktanya belum lepas dari berbagai ancaman seperti radikalisme dan
intoleransi. Wahid Foundation sendiri lebih fokus dalam mencegah intoleransi
agar masyarakat tetap berfikir baik satu sama lain untuk saling mengedepankan
gotong royong, sikap berdialog dan sebagainya.
Untuk
merealisasikan itu, terang Yenny, Wahid Foundation telah membuat
langkah-langkah agar islam rahmatan lil alamin betul-betul bukan sekadar
gagasan saja, tapi perwujudan dari peradaban islam yang akan menginspirasi
dunia. Program-program itu antara lain melatih anak muda agar peka dengan
konten media sosial yang akan bekerjasama dengan google dan twitter. Ini
sebagai upaya untuk menangkal hoax dan fitnah di media sosial.
”Kalau
memungkinkan justru anak-anak muda berperan utnuk membuat konten yang
menyebarkan gagasan tentang toleransi dan perdamaian termasuk meluruskan makna
jihad. Bukan menyebarkan fitnah, apalagi memutarbalikkan fakta, yang bisa
menimbulkan perpecahan dan intoleransi,” tutur wanita yang pernah mengenyam
pendidikan di Harvard University, Boston, Amerika Serikat ini.
Selain
itu, Wahid Foundation juga mempunyai program intervensi ekonomi yang menyasar
ibu-ibu di tingkat akar rumput agar mereka lebih berdaya secara ekonomi, tapi
secara gagasan mengajak mereka untuk berfikir toleran.
“Kemarin
baru diluncurkan oleh Presiden RI Joko Widodo yakni gerakan perempuan untuk
koalisi sosial. Dari situ nanti kami
akan mewujudkan kampung-kampung damai di berbagai daerah di Indonesia.
Konsepnyanya anggota komunitas ini dilatih secara ekonomi, tetapi juga diminta
menjadi agen-agen toleransi perdamaian di tingkatnya masing-masing,”katanya
mengakhiri.



No comments:
Post a Comment