Jakarta / ZONASATU -- Bela Negara
merupakan wadah peran dan kontribusi seluruh komponen masyarakat yang harus
diaktualisasikan baik dari dunia usaha, pendidikan, media, tokoh
pemuda, tokoh agama, dan seluruh elemen bangsa lain pada bidang profesi
masing-masing. Hal ini sebagai upaya agar masyarakat dapat mencintai bangsa ini
sekaligus untuk membentengi masyarakat agar terhindar dari berbagai macam
bentuk upaya adu domba dan paham radikal terorisme.
“Di
jaman sekarang ini Bela Negara itu tidak hanya dilakukan dengan kekuatan fisik
dan angkat senjata saja, namun harus dilakukan melalui beragam upaya dan
profesi. Seluruh komponen bangsa dan negara baik itu masyarakat sipil maupun
militer yang saat ini tengah berjuang melakukan tugasnya di seluruh penjuru pelosok
Tanah Air sesungguhnya juga sedang melakukan upaya Bela Negara,” kata Guru
Besar Psikologi Politik, dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hamdi Muluk,
M.Si di Jakarta, Kamis (20/12/2018).
Dirinya
menjelaskan dalam kacamata psikologi, untuk menumbuhkan semangat patriotisme,
ikhlas dan pantang menyerah dalam melakukan upaya bela negara maka seluruh
komponen bangsa sudah semestinya untuk
belajar dan menghayati betul betul sejarah pembentukan bangsa Indonesia ini
yang tidak mudah.
“Karena
sesungguhnya secara fisik yang namanya tanah Indonesia itu awalnya tidak ada. Indonesia
ini dulu adalah komunitas “yang
dibayangkan” (imagined community)
yang secara sengaja dibentuk lewat proses sosial politik yang tidak mudah,”
ujanrya .
Lebih
jauh dirinya menceritakan, hal ini terlihat mulai dari sejarah berdirinya
organisasi Budi Utomo, Kongres Pemuda (yang melahirkan Sumpah Pemuda) yang
selanjutnya berproses terus menjadi ‘Indonesia’. Hal tersebut untuk
mengatasi fakta-fakta sosial kongkrit yang sudah ada beratus-ratus tahun
lamanya seperti masalah suku, agama, kelompok dan daerah-daerah.
“Titik
kulminasinya yakni Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945. Kemudian ada empat
konsensus dasar ini yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, yang
memang sudah harga mati dan tidak boleh lagi dipertanyakan. Empat konsensus
dasar ini tentunya jangan diubah lagi, tapi bagaimana mengartikan dan
mengejawantahkannya (mewujudkan, melaksanakan, memanifestasikan) sesuai jaman
boleh saja dan bahkan harus,” kata pria kelahiran Padang Panjang 31 Maret 1966
ini .
Berangkat
dari kesadaran seperti ini lah menurutnya bahwa membela negara itu suatu hal
yang tidak akan pernah berhenti, karena ancaman terhadap empat konsesus dasar
tadi selalu ada, baik dari dalam dan dari luar.
“Sekarang
kita sudah menerima bentuk ‘fisik’ negara Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke,
tapi tetap Plural (Bhinneka Tunggal Ika), harus diterima kenyataan itu. Jadi
Indonesia ini harus dipahami sebagai kesinambungan antara aspek masa lalu
(keadaan sejarah), masa kini, tantangan kekinian yang harus dijalani, dan
harapan ke masa depan,” ujar Hamdi.
Ancaman fisik kolonialisme tidak lagi seperti dulu, Menurutnya,
ancaman sekarang datang dalam bentuk ekonomi, politik, kebudayaan, teknologi,
energi, pangan dan sebagainya. Untuk itu tantangan sekarang ini adalah bagimana
memperkuat diri di dalam dalam seluruh aspek mulai dari kedaultan (militer), keamanan dalam negeri (Polri)
serta seluruh sektor ekonomi, politik, kebudayaan, teknologi, energi, pangan dan
sebagainya.
“Dan
tentunya masing-masing anak-anak bangsa juga harus ikut berkontribusi sesuai
dengan peran dan kemampuannya dalam seluruh sektor tadi dengan memperkuat diri
kita sendiri dulu didalam. Baru setelah itu kita bisa punya daya tawar dalam
hubungan luar negeri (internasional),” ujar pria yang juga anggota kelompok
ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bidang Psikologi ini.
Genrasi
milineal sendiri menurutnya harus sadar bahwa mereka punya krekatifitas, daya
juang, kemampuan adaptasi yang lebih dari generasi sebelumnya. Potensi yang dimiliki seperti ini tentunya harus di manfaatkan,
jangan dipakai untuk energi negatif, saling mencaci, saling menghujat ataupun
terpengaruh paham radikal terorisme dan sebagainya.
“Generasi
milenial harus bisa melakukan apapun, sekecil apapun, sekonkgrit apapun untuk
negeri ini. Potensi yang dimiliki sesuai bidang, bakat dan kemampuannya harus
dimanfaatkan. Kalau ada yang ahli di bidang saint silahkan tunjukkan. Ada yang
ahli di bidang bisnis dan kesenian, tunjukkan. Kalau ada yang ahli di bidang
olah raga, tunjukkan kalua bisa meraih prestasi di berbagai ajang,” ucapnya.
Namun
demikian dirimya tidak memungkiri bahwa sebagai bangsa, kita punya kelemahan yang agak krusial yang membuat para generasi milenial ini sekan akan malas untuk melakukan bela negara, pertama,
trust (rasa saling pecaaya) sesama anak bangsa, selalu mudah curiga, apalagi
kalau dibawa ke faktor SARA, kedua
yaitu kepedulian (care) dan ketiga, kurang
punya etika publik (hak dan kewajiban sebagai warga negara),.
“Politik
identitas. SARA ini harus dilawan, biasanya dia yang suka kompor-komporin untuk saling tidak percaya antara sesama anak
bangsa. Kesadaran bahwa aspek kehipuan publik itu penting untuk dijaga. Tiga
kelemahan ini yang harus diatasi, supaya semangat bela bangsa bisa diletakkan
dalam tiga aspek ini,” tuturnya.
Menurtnya
pemerintah juga diminta untuk terus menyegarkan kesadaran sejarah kepada
seluruh komponen masyarakat dan bangsa mengenai betapa susahnya menegakan
republik yang “imagined community” ini pada awalnya. Pemerintah harus terus
menghimbau agar empat konsensus dasar itu jangan dipertanyakan lagi di mana ke-Indonesian
itu harus terus dijaga dan dipupuk. Agar bangsa ini tidak terpecah belah.
“Pemerintah
barus memberikan peran lebih banyak kepada generasi milineal untuk turut
menjadi agen sosialisasi pentingnya menghayati sejarah iondonesia, agen untuk
mengejawantahkan pancasila dengan semangat kekinian,” ucapnya.
Untuk
itu dirinya meminta kepada seluruh sektor pendidikan, birokrasi, elemen-elemen
sipil society (pers, kampus, ormas,) harus satu kata soal empat konsensus dasar
tersebut. Dan pemerintah harus menjadi fasilitator kepada elemen-elemen masyasakat
tersbut jika ada ide-ide kongkrit dalam menumbuhkan semangat Bela negara.
“Pemerintah
tidak perlu memonopoli soal bela negara ini. Berikan saja rambu-rambunya
seperti soal sejarah, empat konsensus, mana yang boleh mana yang tidak. Mengenai
bentuk kegitan, metode dan cara-cara bela negara serahkan saja ke elemen-elemen
masyarakat tadi. Bangkitkan dan dorong
kreativitas masing-masing supaya masyarakat kita ini memiliki rasa cinta
terhadap bangsanya dan terbentengi dari hal-hal negative,” ujarya mengakhiri.
Penulis : -
Sumber : -
Sumber : -



No comments:
Post a Comment