Jakarta, ZONASATU –
Ketua
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, meminta
kepada semua pihak mulai dari orang tua, keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat bersama pemerintah untuk bisa bersama-sama membentengi anak-anaknya agar terhindar dari penanaman paham-paham
kekerasan ataupun doktrin
kebencian yang dapat menimbulkan aksi terorisme di kemudian hari.
Karena penanaman paham tersebut saat ini
sudah merata dan sudah menyebar dimana-mana baik lintas sekolah, lingkungan dan
sebagainya
“Itu sudah
merata. (Penyebaran paham radikalisme). Sekarang ini anak dieksploitasi
kepentingan keyakinan politik orang dewasa dan sebagainya. Dengan adanya
penanaman paham itu, anak ini dapat berpotensi menjadi pelaku kekerasan seperti
aksi terorisme. Padahal anak-anak ini harus
dilindungi oleh orang tuanya, keluarga, lingkungan dan juga lembaga pendidikan.
Karena anak akan menjadi penerus bangsa kedepannya,’ ujar Arist Merdeka Sirait,
di Jakarta, Jumat (26/7/2019).
Menurutnya, menanamkan
paham radikalisme, kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang dekat dari anak tersebut
tentunya menambah panjang daftar bahwa anak sangat berpotensi menjadi pelaku
kekerasan baik itu di sekolah, di lingkungan tempat tinggalnya maupun di
lingkungan sosialnya. “Karena dengan adanya penanaman paham kekerasan oleh
orang sekitarnya justru akan meningkatkan tren kekerasan yang dilakukan oleh
anak,” ujarnya.
Menurutnya, penanaman
radikalisme sebagai keyakinan ideologi dan keyakinan agama kepada anak tentunya
adalah hal yang salah. Oleh sebab itu menurutnya semua pihak harus
mengantisipasi secara bersama-sama agar hal tersebut tidak terjadi lagi di
lingkungan anak. Yamg pertama tentunya dari lingkungan rumah melalui orang tua
harus dapat melindungi anaknya. Keluarga adalah benteng pertama, karena anak itu
akan meniru apa yang dilihat dan apa yang dirasakan.
“Saya kira rumah
harus tetap menjadi rumah yang menanamkan kaidah-kaidah agama yang ada. Jadi
tidak mengajarkan yang berbeda dengan kaidah kaidah bangsa kita. Keluarga harus
menciptakan rumah yang terus beribadah sesuai dengan kaidah-kaidah agama yang
sudah ada. Tidak perlu mencari pembaharuan-pembaharuan. Kaidah-kaidah yang ada
tidak boleh diubah lagi dan sebagainya,” ujar pria yang sudah 12 tahun menjadi
Sekjen Komnas PA ini
Menurutnya
fungsi ketahanan keluarga adalah untuk menciptakan dam menguatkan kembali rumah
yang terus beribadah sesuai norma agama dan mengubah paradigma atau pola
pengasuhan yang otoriter menjadi pengasuhan yang dialogis dan partisipatif.
“Polanya harus
diganti, seperti mendengarkan keluhan anak, memberikan kesempatan anak untuk
bercerita dan sebagainya. Itu merupakan metode yang harus dilakukan di dalam
proses membangun tumbuh kembang anak. Ini agar anak bisa memahami apa yang
sedang terjadi di lingkungannya,” ujarya.
Selain itu
menurutnya lembaga pendidikan juga harus
dapat menanamkan pendidikan deradikalisasi. Karena kurikulum
pendidikan kita sekarang ini tidak
partisipatif dan tidak dialogis. "Karena dia kecenderungan nya transfer
knowledge, seolah-olah knowledge para pengajar, kurikulum itu adalah hal yang
paling utama. Padahal dialog pada anak dan mendengarkan pendapat anak itu
sangat penting.
Untuk itu perlu
adanya pengembangan kurikulum di lembaga pendidikan yang bersifat dialogis dan
partisipatif. Ini agar tidak ada lagi guru yang hanya sekedar transfer
knowledgenya kepada anak-anak. “Tetapi guru harus berfungsi bagaimana sebagai mediator
dan fasilitator terhadap apa yang dipikirkan anak-anak menyangkut tentang
dirinya termasuk tentang pendidikan dan keilmuan akademik,” katanya.
Selain itu menurutnya,
masyarakat di lingkungan anak juga harus mengambil peran dalam membentengi
anak dari paham-paham kekerasan. Masyarakat harus bisa membangun budaya ketimuran kita yang selama ini saling
memperhatikan. Oleh karena itu Gerakan Perlindungan Anak yang disebutnya
sebagai Gerakan Perlindungan Anak Sekampung dan Sedesa harus dibangkitkan. Dalam
artian masyarakat diminta untuk ikut membangun budaya ketimuran kita yang
peduli dengan motto ‘Anakmu adalah Anakku’ atau ‘Cucumu adalah Cucuku’.
“Dengan
menggunakan motto seperti itu sehingga dengan apa yang terjadi di
lingkungannya, di desanya itu adalah tanggung jawab bersama. Dengan tidak
membiarkan itu adalah tanggung jawab masing-masing keluarga. Jadi harus sinkron
kalau rumah bisa ramah terhadap anak,
tentunya lingkungan juga harus ramah terhadap anak,” kata pria kelahiran Pematang
Siantar, 17 Agustus 1960 ini.
Ini menurutnya
agar rumah dan lingkungan sosial juga harus selalu terus beribadah sesuai
kaidah agama yang telah ada. “Bukan berarti menciptakan rumah rumah ibadah,
bukan seperti itu. Tetapi semangat spiritual itu harus terus dibangun dalam
rangka membentengi anak dari paham-paham radikalisme atau paham paham atau
ujaran ujaran kebencian itu,” kata Arist.
Untuk itu di Hari Anak Nasional (HAN) 2019 dirinya juga meminta kepada pemerintah
dengan jargon atau temanya yang disuguhkan kepada masyarakat harus konsisten. Dimana
pada tema besar HAN kali ini adalah Menggugah peran Keluarga menjadi garda
terdepan dalam Melindungi Anak agar menjadi anak yang Gembira. Dimana tema
kecil itu kyakni Kita Anak Indonesia, kita Bergembira.
“Nyatanya anak kita belum bergembira, masih banyak anak
kita yang air matanya perlu dihapus dan dibuat gembira. Mengapa? Karena
kejahatan terhadap anak-anak termasuk penanaman paham radikalisme ataupun
ujaran kebencian, persukusi, melibatkan anak dalam kepentingan orang-orang
dewasa yang tidak berhubungan dengan anak itu juga merupakan suatu tindakan
kekerasan. Itulah yang harus dilihat,” ucapnya.
Untuk itu
dirinya mengajak setiap masyarakat untuk
menanamkan HAN ini secara terus menerus di.lingkungannya “Jangan sekedar
ceremony, tetapi harus konsisten untuk menanamkan Hari Anak Nasional itu di rumah, lingkungan kita sendiri dan sebagainya.
Karena hal itu merupakan tanggung jawab bersama,” katanya mengakhiri
Editor | : Adri Irianto |
Foto | : - |
Sumber | : - |
No comments:
Post a Comment