Jakarta ZONASATU - Pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 lalu, perbedaan pilihan dan pandangan masih saja bermunculan di media sosial. Dengan telah ditetapkannya pasangan pemenang pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
, maka sudah saatnya membangun
gerakan rekonsiliasi di dunia maya menjadi sama pentingnya dengan rekonsiliasi
di dunia nyata. Peran para tokoh dianggap
pentimg untuk dapat menwujudkan rekonsiliasi itu baik di dunia maya maupun di
dunia nyata.
Guru Besar Fakultas
Adab dan Humaniora dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum, meminta kepada para tokoh bangsa untuk bisa bersama-sama menciptakan
rasa tentram saat bersikap atau berbicara di media sosial guna mewujudkan
rekonsiliasi kebangsaan demi menjaga persatuan bangsa. Apalagi tokoh ini di
media sosial terkadang juga menjadi sasaran bully para netizen.
“Saya kira para
tokoh ini semangatnya harus bisa menciptakan rasa tentram. Para tokoh ini ketika bermain di media sosial
itu juga jangan terbawa perasaan (baper) juga saat di kritik atau di bully. Jangan terlalu diambil hati atau
bersikap emosional kalau ada masyarakat yang mengomentari dengan kata-kata yang
agak sinis dan sebagainya akibat dari ucapannya” ujar Prof. Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum, di Jakarta, Kamis (4/7/2019).
Dikatakan Oman,
harus diakui bahwa komentar itu mungkin cukup menyakitkan hati dan perasaan,
tapi yang paling penting itu adalah masing-masing tokoh ketika menerima
kritikan atau masukan baik di dunia maya atau di dunia nyata itu harus direspon
dan menyampaikan sesuatu itu sesuai
dengan kapasitas dirinya yang ia ketahui.
“Dan menyampaikan
sesuatu pendapatnya itu tentunya dengan semangat menentramkan itu tadi, jangan
malah memprovokasi. Karena yang terjadi selama ini seseorang tokoh atau yang dianggap sebagai tokoh oleh
masyarakat itu kadang seringkali juga ikut berperilaku provokatif. Ini yang
harus dihindari para tokoh itu demi menjaga persatuan antar masyarakat. Apalagi
usai pilpres ini sangat pentimg sekali bagi para tokoh untuk bisa mendinginkan
dan menentramkan suasana yang kemarin sempat membuat masyarakat kita terpecah,”
kata pria kelahiran Kuningan, 8 Agustus 1969 ini.
Karena menurutnya,
dalam menyampaikan kebenaran itu sejatinya banyak cara untuk menyampaikannya,
bisa dengan cara yang keras, bisa dengan tidak bijak, dan bisa dengan cara yang
bijak. Untuk itu dirimya menitipkan tiga kunci pokok yang harus dipahami para tokoh untuk menyampaikan sesuatu yang dianggap
benar, yakni berilmu, berbudi dan berhati-hati
“Pertama, berilmu. Sampaikan sesuatu itu dengan berilmu,
dengan pengetahuan sesuai kapasitasnya, sehingga tidak miss-leading. Kedua, berbudi yaitu ketika menyampaikannya juga
dengan arif, santun dan bijaksana, tidak dengan provokatif. Ketiga,
berhati-hati., siapa tahu ketika sampai suatu informasi ke kita, ternyata setelah
buru-buru kita posting, karena kita tidak hati-hati dan ternyata itu keliru
bisa membuat suasana menjadi tidak baik dan memanas,” kata pria yang juga Staf
Ahli Menteri Agama bidang Manajemen Komunikasi dan Indormasi ini
Mantan Dekan Fakultas Adab
dan Humaniora dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini menilai bahwa ajang Pilpres lalu segregasi masyarakat
banyak juga dipengaruhi oleh cara pandang keagamaan. Oleh karenanya pasca
Pilpres ini sebagai warga negara tentunya perlu mengembalikan lagi cara pandang
kita yang substantif dalam hal keagamaan. Karena yang esensial bahwa dalam konteks Islam saja jangan kan sesama muslim, sesama bangsa Indonesia ini tentunya kita semua
ini merupakan satu kesatuan.
“Jadi saya kira
kita di Indonesia ini sebagai negara hukum juga. Sebagai umat beragama saya ingin mengatakan bahwa taat beragama itu sama artinya dengan
taat bernegara. Sama halnya taat bernegara itu sebetulnya kita sudah
mengimplementasikan dari ajaran agama itu sendiri,” tuturnya .
Artinya menurut
pria yang juga Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) ini, ketika
negara sudah memutuskan dalam konteks Pilpres kemarin yang mana MK juga sudah
memutuskan hasilnya maka hal tersebut sudah merupakan instrumen negara. “Maka
taat terhadap putusan MK itu adalah bagian dari cara beragama kita juga. Oleh
karenanya hal tersebut harus kita taati juga. Masalahnya di media sosial itu masih
banyak cara pandang yang ekstrim dengan mengabaikan nilai substantif itu
sendiri,” ujarnya
Diakuinya bahwa,
meski sudah ada putsuan dari MK terkait sengketa Pilpres dan ketetapan pemenang
Pilpres namun di media sosial masih saja timbul ujaran-ujaran kebencian dan
provokasi, meski tidak sebanyak saat sebelum siding putusan MK tersebut. Untuk itu usai penetapan pemenang Pilpres
oleh KPU tersebut dirinya meminta kepada masyarakat para pengguna media sosial
untuk bisa lebih bijak dalam menyampaikan ucapannya di media sosial.
“Dalam konteks Pilpres
musuh bersama kita itu bukan lagi 01 atau 02 adalah lawan. Musuh bersama kita
sekarang ini adalah intoleransi, hete speech (ujaran kebencian) dan juga sikap
fanatik yang berlebihan. Tentunya itu yang harus kita lawan bersama guna
membangun kebersamaan dan persatuan,” kata pria yang juga peneliti senior di Pusat
Kajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta ini.
Dikatakannya, dalam
konteks medsos sendiri, masih banyak pertentangan itu muncul akibat informasi
berita yang tidak benar (hoax). Hal itulah yang kemudian menjadi Trigger untuk munculnya
persengketaan. Oleh karenanya dirinya ingin menitipkan hal penting bagi para
pengguna media social. Pertama, ketika
menerima informasi apapun itu tentunya harus dicari sumber yang paling
otoritatif nya ataucari sumber primer.
“Termasuk dalam
konteks pilpres yang sekarang ini ataupun isu-isu keagamaan yang mutakhir lah
yang banyak. Itu harus dicari sumber informasi atau sumber primernya yang
otoritatif . Jangan hanya mengandalkan forward misalnya dari pesan WhatsApp
grup dan sebagainya,” katanya..
Kemudian yang
kedua menurutnya, setelah kita mengetahui tahu sumber otoritatif sumber primernya,
tentunya kita juga harus mencari konteks
dari informasi atau berita yang kita terima tersebut. “Kalau dua hal itu kita praktekkan dalam
bermedia social, sebetulnya aman itu isu tentang Cina, isu tentang mobilisasi
akan orang asing, isu tentang hutang-hutang dan segala macamnya. Itu tentu ada
konteksnya, bukan berarti faktanya tidak ada. Contonya, iya ada hutangnya. tapi
konteksnya apa sih sebetulnya? Ini yang harus kita pahami,” ucapnya.
Dan moderasi
beragama itu menurutnya telah mengajarkan nila-nilai bahwa kita itu harus
mengetahui pengetahuan yang komprehensif tentang berbagai hal yang mau kita
respon. Sehingga jangan asal ujaran kebencian dipelihara, lalu diposting dengan
mudah tanpa mempertimbangkan dampaknya yang akan terjadi kemudian nantinya.
“Karena pada
akhirnya ketika undang-undang atau hukum diterapkan melalui Undang-undang ITE pada
perilaku seperti itu maka kita sendiri yang akan rugi nantinya,” kata Oman mengakhiri
| Editor | : Adri Irianto |
| Foto | : - |
| Sumber | : - |



No comments:
Post a Comment