Jakarta, ZONASATU - Manusia adalah khalifah di muka bumi yang mengemban amanat dalam memelihara bumi dari kerusakan dan pertumpahan darah seperti yang dikhawatirkan malaikat. Setiap diri manusia adalah pemimpin yang bertugas dalam memelihara perdamaian untuk mencegah kerusakan di muka bumi.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, seorang khalifah atau pemimpin harus
dirasakan oleh seluruh raknyatnya. Tidak memandang identitas agama, bahasa,
suku, dan ras. Karenanya, dalam menyongsong kepemimpinan nasional yang mampu
mengantarkan Indonesia pada cita-cita kemerdekaan, menghayati nilai-nilai
Pancasila dan merefleksikan dalam kebijakan kenegaraan adalah sebuah keharusan.
Guru Besar
Fakultas Adab dan Humaniora dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Prof Dr. Oman Fathurahman, M.Hum menjelaskan dalam tradisi Islam, kata Khalifah itu punya dua makna. Pertama,
khalifah secara umum, yakni manusia sebagai khalifah di muka bumi. Dimana Allah
menyebut Nabi Adam sebagai seorang Khalifah yang diturunkan, seperti dijelaskan
dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30. Dan yang kedua, Khalifah secara
khusus, yakni dimaksudkan dalam konteks pengganti Nabi Muhammad sebagai
pemimpin agama dan Negara
“Dalam sejarah
kesultanan di Nusantara, para Sultan banyak yang menggunakan gelar ‘Khalifatullah fil Ardh’ atau Khalifah di
muka bumi, yang bisa dianggap mengandung dua arti sekaligus, baik sebagai
manusia sempurna (insan kamil) makhluk Tuhan, maupun sebagai Raja, wakil Tuhan
untuk mengelola bumi. Apapun makna khalifah yang dirujuk, jelas bahwa misi
Tuhan menjadikan manusia atau pemimpin sebagai khalifah adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan dan keadilan bagi semesta,,” ujar Prof Dr. Oman
Fathurahman, M.Hum, di Jakarta, Rabu (15/1/2020).
Namun demikian
menurutnya, seiring dengan perkembangan zaman dan semakin beragamnya kebudayaan
manusia, termasuk beragamnya sebutan pemimpin dan sistem pemerintahan, maka
makna khalifah ini perlu dimaknai secara substantif dalam konteks
masing-masing, termasuk dalam konteks Indonesia.
“Makna substatif
yang tidak boleh hilang adalah khalifah sebagai pengemban kemaslahatan dan
keadilan. Karenanya, semua pemimpin Indonesia harus bisa mewujudkan
kemaslahatan dan keadilan itu sebagaimana menjalankan praktik agama juga harus
dipahami sebagai bagian dari komitmen dalam mewujudkan kemaslahatan bernegara,”
ujar Oman
Oleh karenanya,
semua pemimpin Indonesia harus bisa mewujudkan kemaslahatan dan keadilan itu
dengan jalan dan caranya masing-masing. Mengingat bentuk dan sistem
pemerintahan di Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa, maka setiap
pemimpin, dan juga manusia, Indonesia harus memahami pengabdian kepada Negara
ini.
“Karena hal itu
sebagai bagian dari pengamalan ajaran agama, sebagaimana menjalankan praktik
agama juga harus dipahami sebagai bagian dari komitmen dalam mewujudkan
kemaslahatan bernegara. Inilah sesungguhnya substansi makna khalifah dalam
konteks manusia Indonesia,” tutur, pria
yang juga Staf Ahli Menteri Agama bidang Manajemen Komunikasi dan Informasi ini.
Lebih lanjut,
pria Kelahiran Kuningan, 8 Agustus 1969 itu mengungkapkan bahwa sejatinya kita
sebagai umat Islam harus mencontoh sikap Nabi Muhammad SAW sebagai suri
tauladan. Karena bagi umat Islam, Nabi Muhammad Saw adalah ‘uswah hasanah’ atau
teladan yang baik.
“Tetapi, jangan
keliru. Dalam konteks kepemimpinan, Nabi Muhammad bukan khalifah (pengganti),
ia justru pemimpin yang digantikan oleh para sahabatnya. Nabi Muhammad adalah khalifah dalam konteks sebagai manusia
sempurna, yang harus diteladani,” ungkapnya.
Namun demikian Oman
juga mengatakan bahwa ketika terjadi kerusakan ataupun pertikaian di bumi dan
lingkungan sosial yang tidak harmonis, maka perilaku buruk manusia terhadap
semesta tidak berarti menghilangkan statusnya sebagai khalifah di muka bumi. Karena
setiap manusia bertanggung jawab terhadap kedamaian di muka bumi.
“Dalam sejarah
manusia kan juga ada yang berhasil mewujudkan kemaslahatan, yang disimbolkan
oleh Habil. Lalu ada juga yang gagal, yang disimbolkan oleh Qabil. Tugas kita
semua untuk terus memperbaiki agar amanah Tuhan kepada kita sebagai khalifah,
dapat kita emban dengan baik, jangan mengkhianati-Nya dengan merusak semesta,”
kata Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Ia menyatakan
bahwa sebagai warga negara Indonesia dan umat beragama yang baik, salah satu
cara yang dapat dilakukan adalah menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan
menghormati sesama. Apalagi para pendiri bangsa ini juga terdiri dari wakil
kelompok agama yang sangat beragam di Indonesia, yang mana mereka sudah sepakat
untuk menjalankan ajaran agama masing-masing di bawah sistem pemerintahan yang
disepakati, yakni Pancasila dan UUD 1945.
“Tindakan apapun
dengan mengatas namakan agama yang
berdampak pada rusaknya tata nilai kemanusiaan atau bertujuan untuk merusak
kesepakatan bersama sebagai sebuah bangsa, maka itu sama artinya dengan tidak
menjalankan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Untuk itulah, cara
pandang keagamaan yang moderat perlu dikedepankan, yakni cara pandang, sikap,
dan praktik keagamaan yang lebih menekankan pada substansi ajaran, tidak
ekstrem, tidak berlebih-lebihan,” peraih Doktoral bidang Filologi dari
Universitas Indonesia ini
Oleh karena itu
dalam kesempatan tersebut pria yang juga anggota The Islamic Manuscript
Association (TIMA), di Cambridge University, Inggris ini juga menyampaikan
bahwa cara paling efektif untuk mengajak masyarakat untuk menangkal ideologi
lain yang bertentangan dengan prinsip NKRI adalah dengan memberikan contoh
dengan berbuat adil dan wujudkan
kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Sesungguhnya
kan lima sila dalam Pancasila sudah merepresentasikan keseluruhan nilai
kekhalifahan yang disebut dalam teks-teks agama, khususnya al-Qur’an. Kalau
Pancasila itu bisa diwujudkan secara paripurna oleh para pemimpin kita, saya
yakin tidak akan ada lagi pemikiran untuk mengganti ideologi Pancasila dengan
ideologi lain,” ujarnya mengakhiri.
Editor | : Adri Irianto |
Foto | : - |
Sumber | : - |
No comments:
Post a Comment