Jakarta, ZONASATU - Pada tahun
2019 lalu Bangsa
Indonesia telah berhasil melewati tantangan kebangsaan melalui
proses kontestasi demokrasi. Dimana tahun 2019
disebut sebagai tahun politik dengan ragam dinamika persoalan yang menguak
emosi dan persinggungan identitas di ruang publik.
Untuk itulah di tahun 2020 bangsa ini harus keluar dari lubang
intoleransi, sekat primordial dan ujaran kebencian demi
merekatkan kembali persaudaraan antar sesame warga bangsa.
Peneliti senior dari
Wahid Foundation, Alamsyah M. Djafar mengatakan bahwa dalam menyemarakkan semangat
toleransi dan anti radikalisme di tahun 2020 ini seharusnya di prioritaskan
kepada kelompok yang rentan terpapar intoleransi agar tidak terjerumus lebih
jauh.
“Jadi kalau
kaitannya dengan toleransi dan intoleransi harus ada prioritas yang menyasar
kelompok-kelompok yang rentan terpapar intoleransi. Misalnya yang tepapar kelompok-kelompok kelas menengah yang memiliki
pilihan politik tertentu, kemudian kita sering mendapatkan informasi-informasi
yang berisi kebencian dan lain sebagainya,” ujar Alamsyah di Jakarta, Rabu
(8/1/2020).
Selain itu menurut
Alamsyah, menyampaikan narasi alternatif tentang toleransi, perdamaian dan anti
radikalisme kepada kalangan masyarakat juga sangat penting demi memperkuat persaudaraan
antar sesama warga bangsa. Tinggal selanjutnya menentukan siapa mereka dan bagaimana media
yang tepat untuk menyasar kelompok-kelompok yang rentan ini.
“Misalnya kepada
kelompok ormas yang menggunakan cara-cara kekerasan atau bisa jadi penyampaian
narasinya adalah bisa dilakukan oleh para mantan pelaku yang sudah tidak lagi tergabung
dengan kelompok ‘keras’ tersebut atau dia sudah ‘tobat’ dari perbuatan
kekerasan yang pernah dilakukanya,” kata pria yang juga pernah menjadi Program Manager
Wahid Foundation ini.
Lebih lanjut
Alamsyah juga mengungkapkan, untuk menyampaikan narasi toleransi, perdamaian
dan anti radikalisme juga bisa dilakukan oleh para tokoh baik itu tokoh bangsa,
tokoh masyarakat maupun tokoh agama yang selama ini telah menjdi panutan
masyarakat. Apalagi jika para tokoh tersebut memiliki media sosial (medsos) dan
sering memberikan pencerahan kepada masyarakat untuk mengajak bertoleransi
“Jadi masyarakat
bisa mendapatkan narasi toleransi dan perdamaian dari tokoh-tokoh panutannya. Jika
tidak dapat bertemu dari tokoh tersebut, saya kira bisa melalui media sosial
yang mana mereka bisa langsung mengaksesnya. Apalagi kalau tokoh yang menjadi panutan tersebut sering memberikan narasi
perdamaian melalui media sosial dan memiliki banyak follower,” kata pria yang sedang
menyelesaikan pasca Sarjana di School of Government and Public Policy (SGPP)
tersebut..
Kemudian menurutnya,
bisa saja ada pertanyaan bagaimana kalau mereka ini tidak memiliki panutan atau
tokoh di lingkungan masyarakatnya. Tetapi
Alamsyah mengungkapkan bahwa kecil kemungkinan masyarakat tidak memiliki tokoh
panutan atau seseorang yang ditokohkan di lingkungan masyarakat.
“Jadi asumsi
saya di dalam masyarakat itu selalu ada struktur kepemimpinan Kita harus
menemukan kelompok yang akan kita sasar kemudian kita bisa menyasar mereka. Jadi
artinya menurut saya, kalau kita mau untuk efektif melakukan gerakan anti radikalisme
atau anti intoleransi, maka kita harus berbasis pada data menyasar dari para
tokohnya,” tutur mantan Program Officer Riset dan Advokasi Wahid Foundation
Selain itu dirinya juga berpendapat bahwa pemerintah juga memiliki peran
penting untuk mengajak masyarakat untuk bersama-sama secara terus menerus menggelorakan
semangat toleransi dan anti radikalisme. “Kalau dari segi kampanye itu saya
kira perlu peran pemerintah dan itu biasanya terus dilakukan,” ujarnya.
Namun demikian menurutnya, dari segi efektifitas ataupun dampak,
pemerintah harus mulai berpikir mengenai tindakan-tindakan yang istilahnya
mengurangi praktek-praktek diskriminasi terhadap kelompok tertentu.
“Selain itu pemerintah juga mengurangi peraturan-peraturan yang
diskriminatif, kebijakan kebijakan atau penyataan-pernytaan yang diskriminatif. Dan itu menurut saya dampaknya akan lebih
produktif,” ujar alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi jurusan Komunikasi
Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri (UIS) Syarif Hidayatullah Jakarta ini
Selain peran dari
pemerintah, menurutnya perlu juga peran dari lembaga pendidikan untuk
memperkuat toleransi di kalangan para lingkungan lembaga pendidikan itu sendiri.
Selama ini pihaknya di Wahid Foundations bersama dengan sekolah-sekolah negeri telah
mengembangkan Sekolah Damai sebagai upaya untuk mendukung penguatan toleransi
di sekolah-sekolah.
Dirimya
menjelaskan, dalam Sekolah Damai ini indikatornya adalah apakah sekolah-sekolah
tersebut telah mengeluarkan kebijakan yang mendukung pemguatan toleransi di
sekolah masing-masing dan apakah ada
praktek-praktek toleransi di lingkungan sekolah.
“Jadi bukan hanya
deklarasi ataupun kampanye saja dalam pengertian yang biasa. Tapi praktik
seperti itu sebuah langkah
kongrit dalam membangun semangat toleransi melalui dunia pendidikan dan
mempunyai dampak yang sangat luar bissa bagi psikologi anak. Nah kalau gerakan ini dilakukan sangat massif
oleh sekolah-sekolah, tentunya hal tersebut akan lebih baik dalam membangun
semangat toleransi,” katanya mengakhiri
| Editor | : Adri Irianto |
| Foto | : - |
| Sumber | : - |



No comments:
Post a Comment