Jakarta, ZONASATU - Gejala radikalisasi yang menyasar generasi muda atau generasi milenial seringkali dimulai dengan pemahaman yang dangkal terhadap ajaran agama. Karena itulah, penanaman dan pengembangan Islam washatiyah di kalangan generasi muda menjadi sangat penting sebagai cara pandang mereka dalam memahami dan mendalami Islam.
Presiden Lajnah Tanfidziyah (LT) dari Syarikat
Islam Indonesia, K.H. Muflich Chalif Ibrahim mengatakan bahwa memang menerapkan moderasi
beragama ini sangat diperlukan, apalagi bagi generasi muda. Ini sebagai upaya
untuk mengajarkan agama itu bukan hanya untuk membentuk individu yang saleh
secara personal, tetapi juga mampu menjadikan paham agamanya sebagai instrumen
untuk menghargai umat agama lain.
“Yang pas memang ya moderasi beragama
dengan menerapkan washatiyah itu
karena artinya kita dapat menerima perbedaan yang ada. Tapi tetap masalah utama
seperti yang juga pernah saya sampaikan di kantor Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) beberapa pekan lalu seperti masalah kemiskinan, kebodohan dan
ketidakadilan ini juga harus diselesaikan,” ujar K.H. Muflich Chalif Ibrahim di Jakarta, Selasa (30/6/2020).
Namun demikian menurut Muflich moderasi
beragama ini harus digalakkan terutama di kalangan generasi milenial. Ini agar para
generasi milenial ini juga dapat menerima perbedaan yang ada termasuk perbedaan
pendapat yang ada di internal Islam sendiri.
“Yang kita tahu sekarang ada orang yang
berbeda pandangan politik, berbeda pendapat itu dianggap lawan, padahal
harusnya tidak seperti itu. Sedangkan yang kita tahu dan kita alami dengan
tokoh-tokoh dimasa peralihan orde baru, perbedaan pendapat itu betul-betul
dihargai. Tidak dianggap lawan orang-orang yang berbeda pendapat itu,” tutur putra
dari mantan anggota MPR-RI, H.M. Chasab Ibrahim itu.
Muflich pun juga mengungkapkan
keprihatinannya terkait masih adanya perbedaan pandangan baik pandangan politik
maupun beda terhadap pandangan ideologi bangsa ini yang tidak dapat diterima
oleh sebagian kalangan ataupun kelompok tertentu.
“Baya juga prihatin ada banyak orang
yang memiliki perbedaan pendapat dan pandangan politik justru dikatakan anti Pancasila,
pengkhianat Pancasila dan sebagainya. Padahal sudah menjadi kebiasaan di
masyarakat kita bahwa berdemokrasi dan bermusyawarah itu dengan berdasarkan
kemanusiaan. Itu hal yang lumrah,” ucap Muflich.
Pria yang juga seorang ulama ini
menyampaikan bahwa untuk mewujudkan moderasi beragama khususnya kepada para generasi
muda maka para penyelenggara negara juga harus memberikan contoh atau
keteladanan kepada mereka. Karena masyarakat, utamanya para generasi muda
tentunya pasti akan melihat hal-hal apa saja yang dilakukan para pejabat yang
ada di negara.
“Menurut saya kita ini butuh
keteladanan, contoh nyata dari para pejabat negara. Baik eksekutif, legislatif
dan yudikatifnya. Dari tingkat pusat sampai ke daerah. Karena kalau pejabat negaranya sudah memberikan
keteladanan tentunya masyarakat akan lebih mudah mengikutinya apalagi generasi
mudanya,” terangnya.
Muflich menuturkan bahwa mengenalkan Islam
yang moderat, toleran dan berkeadilan khususnya kepada para generasi muda
adalah esensi agama itu sendiri. Karena semua agama sebetulnya tidak
membenarkan dan tidak mentolerir mengenai adanya paham radikal terorisme
apalagi yang kemudian sampai berujung pada kekerasan dan aksi teror.
“Karena pada hakikatnya, manusia ini
sendiri harus memanusiakan manusia. Manusia harus meninggalkan kecenderungan
yang tidak manusiawi, kecenderungan seperti hewan, kecenderungan seperti
syaitan dan lain sebagainya,” kata Muflich.
Karena hal ini
menurut pria kelahiran Jakarta, 8 November 1970, ini masih sejalan dengan
Pancasila sebagai ideology bangxa Indonesia, dimana seharusnya aspek moralitaslah yang
seharusnya dikedepankan.Yang mana seperti gotong royong dan aspek moralitas lainnya itu
sebetulnya sudah mendarah daging d bumii nusantara ini bahkan sebelum 22 Juni 1945
ditetapkannya Pancasila.
“Jadi Pancasila,
lima (5) sila itu saya sebagai muslim
menganggap induk dari semua silanya itu adalah Al Quran. Tapi dalam konteks
kita dalam berbangsa dan bernegara, itu adalah suatu konsensus bersama,
kesepakatan bersama, yang mana setiap kaum
muslim juga wajib menjunjung dan menghormati itu,” ujarnya.
Muflich juga menyebutkan bahwa
mereka-mereka yang terpapar paham radikal terorisme itu sebetulnya adalah
golongan yang sumbu pendek yang mudah dihasu karena tidak memahami agama Islam
secara mendalam. Untuk itulah dirinya mengingatkan agar umat Islam mempelajari
Islam secara mendalam agar tidak mudah terhasut yang berakibat mudah terpapar
paham radikal terorisme tersebut
“Jadi jangan sampai kita dihasut oleh pihak-pihak
yang ingin membenturkan agama dengan negara, Islam dan Pancasila dan seterusnya.
Jadi moderasi beragama ini sebenarnya bentuk tanggung jawab kita kepada agama
kita, yang Islam ya kepada Islam, yang Kristen kepada Kristen dan sebagainya
termasuk kepada generasi setelah kita yaitu para generasi muda,” tuturnya.
Jikapun sampai ada silang pendapat,
Muflich menyarankan agar hal tersebut diselesaikan melalui musyawarah dengan
duduk bersama dan berkepala dingin. Ini agar hal-hal yang berebeda tersebut
bisa diselesaikan dengan baik demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ini.
“Sekarang kan kedua belah pihak yang
berbeda pandangan ini terkesan tidak mau menerima penjelasan. Jadi ya harus
duduk bersama mereka-mereka itu, menyerap aspirasi, dimusyawarahkan bersama dan
sebagainya hingga mencapai mufakat. Inilah yang harusnya kita contohkan kepada
generasi muda demi menjaga persatuan bangsa ini,” katanya mengakhiri.
| Editor | : Adri Irianto |
| Foto | : - |
| Sumber | : - |



No comments:
Post a Comment