![]() |
| Pesawat N-250 Gatot Kaca |
Mesin Allison menderu kencang, 2 baling-baling berputar
cepat, sebuah pesawat putih, dengan warna biru di perutnya, mengambil posisi
take off setelah berputar 180 derajat di ujung landasan. Bandara Husein
Sastranegara, Bandung, Jawa Barat diliputi suasana tegang kala itu. Sejumlah
mobil pemadam kebakaran disiagakan, mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan.
Selang beberapa menit, burung besi dengan berat kosong 13.660
kg pun melaju sangat kencang, mendongak, dan kemudian mengangkasa dengan
anggun. Dipandu CN-235 yang lepas landas lebih dulu.
Pesawat itu adalah N-250 Gatotkaca. Namanya diambil dari tokoh
pewayangan yang konon punya kesaktian luar biasa: otot kawat balung wesi
(berotot kawat dan bertulang besi). Ia juga mampu terbang di angkasa tanpa
menggunakan sayap.
Dan ketika Sang Gatotkaca mengangkasa di atas Kota Bandung,
ketegangan sirna. Kegelisahan orang-orang yang ada di sana berganti senyuman.
Semua bertepuk tangan. Tak sedikit yang mengucurkan air mata.
Dari darat, Presiden Soeharto kemudian berbincang melalui
radio komunikasi dengan pilot N-250 yang sedang mengudara. Di sampingnya, ada
Dirut PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), Prof. Dr. Ing. BJ Habibie.
Ia orang yang paling lega saat itu. Prediksi seujumlah pakar yang menyebut
N-250 tak mampu terbang, dipatahkan telak.
Itulah momentum bersejarah penerbangan perdana pesawat ‘asli’
buatan anak bangsa, yang melalui proses panjang sejak tahun 1985.
Peristiwa terbang perdana pesawat N-250 pada 10 Agustus 1995
dijadikan peringatan sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional.
Sayangnya, keberhasilan ini tidak berlangsung lama. Proyek
pesawat N-250 terhenti setelah krisis moneter yang menimpa Indonesia pada tahun
1998. Kini pesawat yang pernah menjadi kebanggan ini ‘mangkrak’ di area PT
Dirgantara Indonesia (PT DI), yang dulunya bernama Industri Pesawat Terbang
Nusantara (IPTN). Sang primadona dirgantara mungkin tak akan pernah bangkit.
Namun, kini, muncul pesawat-pesawat berlabel made in
Indonesia. Memberi sepercik harap industri kedirgantaraan nusantara akan
kembali bangkit. Salah satunya, Regio Prop 80 (R-80).
Industri Dirgantara RI
Bangkit?
Dua puluh tahun berlalu sejak penerbangan perdana N-250. Pada
Senin 13 April 2015, BJ Habibie muncul di ajang National Innovation Forum (NIF)
2015 di Puspiptek, Serpong, Tangerang, Banten.
Di depan Presiden Jokowi, ia mempresentasikan salah satu
produk pesawatnya yang diberi label R-80. Pesawat yang diklaim bakal lebih
hebat dari N-250.
Melalui PT Ragio Aviasi Industri (RAI), produsen R-80,
Habibie mengatakan, pesawat terbarunya tak membutuhkan waktu lama untuk bisa
mengudara di langit Nusantara. Tak seperti N-250 yang ‘mati suri’.
Menurut Habibie, pesawat itu merupakan generasi baru pesawat
berpenumpang 80-90 orang berkecepatan tinggi dan merupakan regional turboprop
aircraft.
R-80 juga dinilai unggul karena biaya operasinya yang paling
rendah di kelasnya, menawarkan keandalan, sistem avionik kelas lanjut yang
memungkinkan tingkat keselamatan semakin tinggi, kenyamanan bagi penumpang,
hingga ramah lingkungan.
Presiden ke-3 RI itu menyebut, dukungan dari pemerintah
mutlak diperlukan. Sebab, investor dari dalam dan luar negeri baru mau
berinvestasi ke perusahaannya jika ada dukungan dari negara. "Pesawat ini baru akan mengudara
tahun 2019. Sudah dua tahun, kita sudah jauh bekerjanya," kata Habibie.
Pria yang pernah menjadi petinggi perusahaan pesawat Jerman,
Messerschmitt-Bölkow-Blohm pernah menyebut, R-80 akan menjadi kejutan. Tak
hanya bagi Indonesia, tapi juga dunia. "It's a surprise, you'll see
it," kata Habibie pada 2013 lalu.
Ditemui di tempat terpisah, Komisaris PT RAI, Ilham Habibie
menambahkan, sejauh ini pemerintah sudah menunjukan bukti nyata mendukung
program ini. Namun, ia belum berani memberikan detail kerjasamanya. Masih
terlalu dini.
"Presiden Jokowi sudah menyatakan bahwa R-80 akan
menjadi program nasional. Tapi memang kita memiliki beberapa ide, tapi belum
bisa saya sebutkan di sini," ujar Ilham dalam wawancara khusus dengan Liputan6.com,
Kamis 16 April 2015.
Dukungan pemerintah, kata dia, bisa berupa pendanaan atau
fasilitas tertentu seperti pengurangan pajak. "Banyak sekali
instrumen-instrumen yang akan sangat bermanfaat."
Sementara itu, pengamat Aviasi UGM, Arista Atmadja
mengatakan, pemerintah harus belajar dari masa lalu. Ia menilai, penguasa
sebelumnya kurang perhatian dengan sektor industri kedirgantaraan.
Akhirnya, banyak anak bangsa yang cerdas memilih
mengembangkan pesawat di negeri lain. Yang akhirnya mempengaruhi perkembangan
industri pesawat di dalam negeri. “SDM kita di PT Dirgantara banyak diambil
Boeing mereka lari ke Amerika. Kan sayang insinyur kita ke sana semua,” kata
dia.
Arista menambahkan, dari segi pendidikan, di Indonesia
sejatinya sudah mumpuni. Di Institut Teknologi Bandung (ITB) ada jurusan teknik
penerbangan. Lulusannya sudah terbiasa menangani penerbangan sejak 1979.
“Namun, karena industri penerbangan kurang dukungan yang
serius mereka pada kabur. Bahkan para insinyur kita terlibat dalam pembuatan
Boeing 787 Dreamliner. Padahal, mereka adalah aset bangsa," ujar Arista.
Dosen UGM itu berpendapat, R-80 adalah pesawat ideal. Juga
kuat dalam bisnis pesawat di kelas 80 seat atau tempat duduk.
Pesawat tanggung ini menurut Arista hampir tidak ada yang
menyaingi. Mungkin hanya Embraer (Brasil) dan Bombardier CRJ (Kanada), atau ATR
(Prancis) para 'raksasa' yang bermain di kelas di bawah 100 seat.
Menurut Arista, tingkat persaingan yang dihadapi R-80 kurang
ketat dan kompetitif. Pesawat itu juga tak jadi kekhawatiran dan pressure untuk
produsen kelas besar seperti Eropa dan Amerika. Airbus dan Boeing.
"Kita harus waspadai bisnis manufaktur pesawat. Ini
bisnis prestise dan membawa nama baik negara,” kata dia. Butuh upaya luar biasa
untuk bersaing dengan Boeing atau Airbus. Jika tak mampu, bisa-bisa justru
mati.
Pesawat ‘Bandel’ R-80
R-80 merupakan pesawat terbang komersial berjenis turboprop
yang bisa mengangkut 80-100 orang. Memiliki kecepatan maksimal 330 knots (378
mph, 605 km/h), R-80 dapat menempuh jarak tempuh kurang dari 600 km.
Komisaris PT Regio Aviasi Industri, Ilham Habibie menerangkan
sejumlah keunggulan lain pesawat R-80. Salah satunya, "Ini pesawat
bandel," ujar dia saat berbincang, Kamis 16 April 2015.
Kenapa disebut bandel, Ilham membeberkan kelebihan pesawat
dengan mesin turboprop dibanding jet. Yakni mampu take off dan landing di
landasan pacu yang pendek dan kondisi berbatu kerikil.
Dengan mesin turboprop, take off atau landing di landasan
yang banyak batu kerikil tak akan berujung bahaya. Sebab, batu-batu kecil itu
tidak akan tersedot ke dalam mesin. "Kalau mesin jet itu, bahaya,
batu-batu kerikilnya bisa tersedot ke dalam mesin," ujar Ilham.
Tak cuma itu, R80 disebut Ilham juga merupakan pesawat yang
lebih besar dan luas dari pesawat sejenis lainnya. R80 akan didesain memiliki
80 kursi penumpang, engine termutakhir, ruang kabin pilot yang lebih luas.
"Lalu bahan bakarnya lebih irit. Tempat duduk pilot juga
lebih luas. Kita juga pakai sistem yang mendukung dengan komputer," kata
Ilham.
Menurut putra sulung B. J. Habibie ini, desain yang diusung
R-80 berbeda dengan N-250. Desain ini dikerjakan oleh puluhan desainernya yang
berpengalaman baik di dalam maupun luar negeri menggunakan software CATIA atau
Dassault Systemes di fasilitas milik PT DI.
"Secara prinsip memang mirip tapi semuanya desain baru.
Yang lebih penting pengalaman dari N-250. Karena ahlinya berasal dari program
N-250. R-80 adalah kesempatan sekarang atau tidak sama sekali karena
orang-orangnya sudah tua dan hampir pensiun,"imbuhnya.
Ilham menuturkan, saat ini program R-80 sudah masuk di tahap
desain pendahuluan atau preliminary design. Setelah selesai, akan masuk dalam
tahap design rinci atau detail design. "Preliminary design dimaksudkan
untuk membuat desain itu utuh dari ujung ke ujung,” kata Ilham.
Meski belum masuk detail design, Ilham menjamin pesawat
yang dikerjakan pihaknya memiliki banyak keunggulan dibanding pesawat sejenis.
Salah satunya adalah teknologi "Fly by Wire" atau sistem yang
membatasi gerakan pesawat udara melalui komputer elektronik atau Flight Control
Computer (FCC).
"Jadi kita untuk menggunakan sistem pengendalian pesawat
terbang, kita juga menggunakan teknologi mutakhir yaitu adalah kita pakai
sistem yang didukung oleh komputer.”
Menurut pengamat aviasi UGM, Arista Atmadja, R-80 cocok untuk
kondisi Indonesia yang memiliki belasan ribu pulau. Apalagi, tidak perlu
landasan pacu yang panjang untuk menerbangkannya.
"Ia bisa landing di landasan pacu yang pendek 1.900
meter cukup lah. Penumpang kapasitas 80 juga cocok di Indonesia yang negara
kepulauan dan memiliki 237 bandara" bebernya.
Dia menambahkan, R-80 bisa memenuhi pangsa pasar domestik
walaupun market internasional cukup bagus seperti kawasan Asia dan Asia
Tenggara: Filipina, Vietnam, Kamboja, Malaysia dan Thailand.
Tantangan Besar
Program R-80 bukan mudah dilakukan. Selain pendanaan,
tantangan yang harus dihadapi adalah masalah Sumber Daya Manusia (SDM) dan
fasilitas. Untuk itu, PT Ragio Aviasi Industri (RAI) mengajak PT Dirgantara
Indonesia untuk turut serta dalam program ini.
"Pertama, pendanaan selalu menjadi tantangan, tapi kita
selalu menemukan solusi tapi boleh dikatakan itu adalah salah satu tantangan.
Kedua SDM, kita memang punya secukupnya tapi memang kita punya beberapa yang
harus didorong,” kata Ilham Habibie.
PT RAI, tambah Ilham, mempercayakan PT DI, salah satu
perusahaan BUMN Industri Strategis, untuk mengerjakan beberapa bagian pesawat.
Namun, untuk detailnya Ilham belum bisa berkomentar banyak. Pembicaraan antar
kedua pihak telah dilakukan.
"Dalam kasus R-80 ini mereka (PT DI) partner kita. Ada
beberapa pekerjaan kita sub-con kepada mereka dari segi engineering saat ini.
Ke depan, kita harapkan dia bisa membuat paling tidak sebagian daripada program
ini dari segi fuselage dan juga wings-nya," cakapnya.
Sedangkan, dari pihak PT Dirgantara Indonesia mengaku siap
membantu. Namun, mereka akan mengkaji mulai masalah bisnis plan, market
analisis, maupun perkembangan apa yang telah dihasilkan.
“Secara program kita kalau dilihat 2015-2016 itu sudah full,
sudah terstruktur. Jadi kita lagi melihat lagi program ini. Saat ini kita masih
sebatas diskusi, kita harus melihat juga bagaimana kapasitas PT DI, bantuan apa
yg bisa diberikan PT DI, bagaimana positioning-nya, ini belum ada keputusan
masih dalam ranah diskusi.,” ucap Ade Yuyu Wahyuna, Kepala Pengembangan Bisnis
PT. DI.
Ditambahkan Ade, sebagai perusahaan negara yang berkecimpung
di industri dirgantara, pihaknya juga akan membicarakan masalah pendanaan
hingga kaitannya dengan pemerintah. Pembicaraan panjang pun akan dilakukan PT
RAI dan PT DI agar program ini bisa maksimal.
“Memang kita harus duduk lagi untuk membicarakan pengembangan
bisnis seperti apa? Kaitan dengan pemerintah, masalah pendanaanya jadi masih
kasar belum berbentuk. Tapi kita sudah mulai berdiskusi, tapi belum berbentuk
kesepakatan,” kata dia.
Komponen Dalam Negeri
Untuk menjadi pesawat transport nasional, selain desain
diperlukan juga komponen-komponen yang diproduksi di dalam negeri. Peneliti
Utama Pustekbang Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Sulistyo Atmadi
berharap kehadiran pesawat nasional juga mendatangkan industri-industri
komponen pesawat di dalam negeri.
Ia berharap, siapa pun yang terlibat di dalam program pesawat
nasional jangan pernah melupakan kemajuan industri manufaktur di dalam negeri.
“Pesawat transport nasional adalah pesawat yang semakin
banyak menggunakan komponen lokal, itu harapan saya seperti itu. Memang masih
sulit untuk total, tapi mudah-mudahan komponen-komponen lainnya sudah lokal.
Jadi jangan terlalu banyak komponen dari luar negeri, karena nantinya malah
bukan pesawat nasional ya,” ungkap Sulistyo.
PT Infoglobal, perusahaan dalam negeri yang berkecimpung di
industri avionik, mengaku siap jika nantinya mereka dipilih untuk membantu
program ini. Saat ini, beberapa hasil produksinya sudah digunakan TNI di
pesawat militer.
“Kami ini dalam rangka mau mengundang Pak Habibie agar beliau
bisa melihat workshop kami di Surabaya sehingga beliau mau melihat langsung
bagaimana kompetensi kami di bidang avionik,” kata dia.
“Kami satu-satu di dalam negeri yang sudah mendesain,
manufaktur avionik pesawat tempur,”tutur Ahmad Fauzi, Marketing Manager PT.
Infoglobal.
Menurut Ahmad, avionik pesawat militer dengan pesawat sipil
relatif sama. Namun, saat ini pihaknya belum masuk ke pasar sipil karena
terkendala masalah sertifikasi.
Ia pun berharap pemerintah membantu agar program pesawat
nasional bisa sempurna dengan produk dalam negeri. “Pesawat sipil dan tempur
itu avioniknya relatif sama, hanya berbeda regulasi dan sertifikasi.
Sertifikasi di dunia selama ini masih didominasi FAA dari Amerika dan EASA dari
Eropa. Di negeri kita sampai saat ini belum ada lembaga pemerintah yang
membidangi itu. Bisa mensertifikasi dalam negeri. Makanya kami ingin sekali
bersama-sama mencari solusi agar sertifikasi tidak tergantung luar,” cakapnya.
“Kalau pemerintah berkenan membantu kita sertifikasi dalam
negeri maka cita-cita itu bisa terwujud. Seperti yang dilakukan oleh China,
yang tidak mau bergantung kepada 2 lembaga sertifikasi tadi sehingga pasar
pesawat sipil tidak harus dipegang dua raksasa itu. Kebutuhan dalam negeri kita
kan cukup besar, kenapa harus dari luar,”
Sementara itu, menurut Ilham kehadiran komponen dalam negeri
sangat dimungkinkan di tempatkan di pesawat R-80. Namun, semua akan melewati
seleksi karena berkaitan dengan masalah tanggung jawab perusahaan.
“Kita adalah project owner dari pesawat R-80 ini. Kalau
seandainya ada bagian-bagian belum bisa kita buat dari dalam negeri tapi
katakanlah dalam waktu 5-10 tahun sudah ada supplier dari dalam negeri jadi
kita bisa merekomendasikan ini yang akan kita gunakan bukan dari luar negeri
lagi,” tutup Ilham.
Selain R-80, pemerintah telah menetapkan N-219 dan N-245
sebagai program pesawat transport nasional. Pesawat ini dikembangkan oleh PT
Dirgantara Indonesia dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.(TSM/Liputan6)




No comments:
Post a Comment