Jakarta, zonasatu.co.id - Hanya berjalan sepekan, Liga Super Indonesia 2015
dihentikan hari ini (12/4). Sesuai keputusan PSSI, PT Liga Indonesia selaku
operator kompetisi memilih untuk menghentikan semua pertandingan daripada
memenuhi arahan BOPI. Yaitu, melarang dua klub yang bermasalah, Arema Cronus
dan Persebaya, bertanding.
Mereka berdalih tidak bisa menggelar liga dengan hanya 16
klub karena kongres mengamanatkan kompetisi diikuti 18 klub. Bahwa Persebaya
dan Arema masih menyisakan masalah legalitas, PSSI tetap tidak mau menjalankan
arahan BOPI yang notabene adalah kepanjangan tangan pemerintah.
Bahwa ada surat teguran FIFA kepada Menpora terkait
permasalahan itu, Sekretaris PT Liga Indonesia Tigorshalom Boboy mengatakan,
penghentian akan tetap dilakukan. ”Kami tetap pada keputusan awal kami
(penundaan kompetisi, Red). Karena surat FIFA itu kan ke
Kemenpora, sementara kami tidak ditembusi,” katanya kemarin (11/4).
Lagi pula, lanjut Tigor, keputusan untuk menjalankan
kembali kompetisi bukan lagi kewenangan PT LI. Semua keputusan mengenai liga
saat ini berada di tangan exco (executive committee).
Nasib Liga Indonesia masih menunggu hasil kongres luar
biasa PSSI pada 18 April nanti di Surabaya. Di kongres akan dipilih ketua umum
sekaligus excobaru.
Artinya, liga pasti tertunda selama beberapa pekan ke depan.
Di sisi lain, BOPI menuntut PSSI tidak menghentikan liga.
Mereka memberikan teguran karena sesuai dengan Surat Keputusan Ketua Umum BOPI
No SB.012/BOPI/KU/IV2015, liga harus dijalankan sampai tuntas sejak 4 April.
Penundaan bisa berbuah sanksi terhadap PT LI dan PSSI.
”Kalau liga dihentikan, kami akan evaluasi dalam bentuk
teguran, baik itu PSSI maupun PT Liga. Sesuai undang-undang, BOPI punya hak
untuk itu,” kata Noor Amman, ketua umum BOPI.
Miris! Kalau tidak ada solusi sesuai peraturan yang
berlaku, bisa-bisa Liga Indonesia benar-benar berhenti di tengah jalan. Ratusan
pemain pun akan menjadi korban, tidak menerima gaji.
Melihat kondisi seperti itu, kita patut mengelus dada.
Membandingkan dengan negara-negara tetangga, kompetisi sepak bola kita sudah
sangat jauh tertinggal. Terlalu jauh jika membandingkan dengan Thailand. Di
negara berjuluk Gajah Putih itu, kompetisi Thai Premier League sudah semakin
maju, baik secara industri bisnis maupun prestasi.
Beberapa klub di Thailand bahkan mampu membangun stadion
sendiri dan sehat secara finansial. Prestasi klub Thailand, Buriram United, di
Liga Champions Asia pun sangat membanggakan, membuka peluang lolos ke babak 16
besar.
Lantas, bersanding dengan kompetisi sepak bola negara
tetangga Malaysia pun, tampaknya kita terengap-engap. Pada 2015 ini Football
Association Malaysia (FAM) baru saja menandatangani kontrak berkala jangka
panjang dengan perusahaan media internasional M&P Silva’s. Sampai tahun 2020,
per tahun FAM akan mendapat kucuran dana Rp 250 miliar. Kontrak itu berlaku
mulai musim depan.
Angka tersebut otomatis membuat subsidi dari federasi
kepada klub pun bertambah. Jika pada tahun ini bantuan FAM kepada peserta Liga
Super Malaysia hanya Rp 1,6 miliar, tahun depan jumlahnya melonjak tajam,
menjadi Rp 5,2 miliar.
Jumlah itu akan bertambah karena FAM bersedia memberikan
subsidi sesuai dengan peringkat klub di akhir kompetisi. ”Kita di Pafa (Perak
FA, Red) menyambut baik dan memandang positif langkah FAM ini. Persaingan di
Liga Malaysia memerlukan dana yang besar untuk menyediakan pasukan yang
mantap,” kata Shahrizal Ahmad Zaini, pengurus klub Perak FA.
Bagusnya liga sepak bola di Malaysia juga tecermin dari
kondisi Andik Vermansah. Pemuda asal Kalijudan, Surabaya, itu tengah merengkuh
nikmatnya menjadi pemain impor di Liga Super Malaysia.
Tahun ini adalah musim kedua buat Andik berbaju Selangor
FA, sang pemuncak klasemen sementara. ”Bermain di sini memang ada beda. Tetapi,
dukungan WNI di sini dan suporter Selangor membuat saya bermain seperti di
Surabaya,” terangnya saat ditemui Jawa Pos di
Negeri Sembilan, Malaysia, kemarin.
Secara finansial, Andik menjelaskan bahwa di Malaysia
pemain lebih terjamin. Hampir tidak ada tunggakan gaji pemain. Demikian halnya
dengan masalah pemain asing yang telantar karena kehabisan uang. Misalnya, yang
dirasakan Solomon Begondo, mantan pemain Persipro Probolinggo yang harus
merasakan getir sampai akhir hayat.
Bukti nyata, Andik mampu membeli satu rumah buat diri
sendiri dan satu lagi buat orang tuanya di Surabaya. Bulan lalu dia juga
membelikan tiga kakaknya masing-masing satu rumah di Surabaya. Sehari-hari
Andik mengendarai mobil Proton Persona dan tinggal di apartemen di daerah Shah
Alam, Selangor.
Mendengar kabar sepak bola di Indonesia, Andik mengaku
prihatin. Terlebih dengan adanya upaya match fixing yang
dilakukan Johan Ibo pekan lalu. Johan dan Andik sejatinya pernah berada dalam
satu tim di Persebaya pada musim 2011–2012.
”Saya selalu memantau perkembangan sepak bola di
Indonesia. Tetapi, situasinya saat ini tampaknya sulit,” jelas Andik.
Bukan hanya dalam bisnis dan keuangan klub, soal
penonton, liga di Malaysia juga lebih baik. Rata-rata penonton per pertandingan
di klub-klub Liga Super Malaysia meningkat dalam kurun waktu tiga tahun
terakhir. Pada 2012, rerata penonton mencapai 6.914. Itu meningkat jadi 8.689
pada 2013 dan pada 2014 melonjak jadi 10.236.
Tren terbalik malah terjadi di Liga Super Indonesia. Dari
11.566 pada 2012, merosot jadi 9.933 pada 2013 dan melorot drastis 7.212 pada
musim lalu.
Keterlambatan pembayaran gaji adalah hal yang biasa dalam
sebuah kompetisi sepak bola di Asia Tenggara. Namun, reaksi federasilah yang
akan menjadi pembeda majunya sebuah kompetisi atau tidak. Desember lalu di
Malaysia menyeruak kasus tidak dibayarnya gaji 12 pemain Perlis FA selama lima
bulan.
Setelah FAM dan PFAM (Professional Footballers
Association of Malaysia) turun tangan, masalah itu langsung selesai dalam
semalam. ”Kami lega masalah ini selesai kerana menamatkan penderitaan pemain
sejak sekian lama. Paling penting, saya tidak mau ada lagi pihak yang
memandang remeh isu yang melibatkan gaji pemain,” kata Presiden PFAM Hairuddin
Omar.
Kondisi berbeda terjadi di Indonesia. Keterlambatan gaji
jadi hal yang remeh dan cenderung dibiarkan, entah itu oleh klub, federasi,
ataupun pemain itu sendiri. Hal tersebut diakui pelatih Fredy Mully. ”Beberapa
klub masih punya tunggakan gaji ke saya. Ya, kecil-kecil, Rp 20–25 juta. Namun,
kalau dikumpul-kumpul sudah bisa bangun rumah,” ucapnya.
Penyakit di Indonesia, jika tunggakan gaji tak ditagih
dan diendapkan setahun atau dua tahun saja, sudah pasti gaji itu tak akan
dibayar. ”Kalau mau nagih pun
bingung, pengurus klub pasti berkelit dan pura-pura lupa,” keluhnya.
Ciri khas Liga Indonesia adalah jadwal yang tidak pasti
dan berubah-ubah. Penyebabnya pun bermacam-macam. Kondisi itu mulai sedikit
dipapas dalam pengelolaan Liga Super Malaysia. Kalender kompetisi liga tak
pernah melenceng dari Januari–Agustus.
Di Indonesia malah sebaliknya. Ketidakpastian jadwal itu
amatlah merugikan finansial tim karena berpengaruh pada kontrak. ”Kalau liga
masih berjalan tapi kontrak pemain sudah berakhir gimana? Otomatis kami harus
perpanjangan kontrak pemain itu selama beberapa bulan bukan?” kata Dirut
Pemasaran PT Persib Bandung Bermartabat Muhammad Farhan.
Fisik dan teknik pemain juga sangat berpengaruh. Sebab,
pelatih harus me-reset dan
menyusun ulang program latihan. ”Sayang sekali, di saat performa pemain sedang onfire namun
harus dihentikan seketika,” ucap pelatih Persela Iwan Setiawan.(Jawapos)


