Jakarta, ZONASATU - Penggunakan isu Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 nanti baik melalui dunia maya, media sosial dan bahkan kampanye langsung di lanpangan diharapkan tidak terjadi lagi. Hal ini Berkaca DKI 2017 lalu dimana isu SARA digunakan untuk memenangkan calon yang dipilih sehingga timbul perpecahan di kalangan masyarakat.
“Dari
evaluasi Pilkada DKI 2017 lalu penggunaan isu SARA jangan sampai terjadi lagi. Dinilai
banyak orang, dengan menggunakan isu SARA maka demokrasi kita menjadi suatu
kemunduran yang luar biasa besar. Kita berharap pada Pilkada 2018 nanti jangan
sampai terjadi lagi seperti itu,” ujar Peneliti dari Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan, Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Dr. Adnan Anwar, MA, di Jakarta, Kamis (25/1/2018)
Upaya
untuk membendung agar isu SARA tidak terjadi pada Pilkada yang akan datang dapat
diwujudkan setelah dirinya melihat perangkat untuk menangkal hal tersebut sudah
banyak, disamping perangkat Undang-undangnya harus diperkuat sehingga bisa diupayakan
langsung dengan penegakan hukum agar tidak terjadi pembiaran.
“Terutama
dari penyelenggara seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama dengan Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu), kan sudah ada Undang-undanganya. Jadi kalau ada
indikasi SARA baik melalui dunia maya, media sosial atau bahkan yang terjadi
langsung di lapangan ya harus lagsung bisa dilakukan penegakan hukum, jangan
dibiarkan,” kata mantan Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) ini.
Diakuinya
bahwa penegakan hukum atas penggunaan isu SARA pada Pilkada DKI 2017 lalu
terlihat tidak tegas. Hal tersebut terlihat dari sejak awal dimana tidak ada
penindakan hukum dari sisi pelanggarana kampanye pemilu terutama di dunia maya.
Dengan tidak ada penegakan hukum yang tegas maka terjadi adanya silang pendapat
antar masyarakat.
“Tidak
ada upaya pihak pihak yang dipanggil. Lalu kerjasama antara sentra Badan
Penegakan Hukum Pemilu baik dari Polisi, Kejaksaan dan Bawaslu itu kan tidak
ada dalam kasus Pilkada DKI lalu. Seperti dibirkan saja,” kata alumni Hubungan
Intenasional Universitas Airlangga Surabaya
Untuk
itu dalam Pilkada 2018 nanti dirinya berharap penegakan hukum dalam menindak
isu SARA harus lebih kuat dan lebih berani karena undang undanganya lebih
berwenang dan sangat luar biasa bagi Bawaslu untuk menindak kelompok kelompok
yang menggunakan isu SARA.
“Dan
sebenarnya itu akan mudah apalagi akunnya juga kelihatan. Dan fungsi penguatan
dari organisasi masyarakat sipil juga harus lebih berani menyuarakan. Misalnya
NU, Muhammadiyah bahwa kampaye SARA itu membahayakan semuanya, termasuk
membahayakan pondasi berbangsa dan bernegara. Itu harus disuarakan juga,”
ujarnya.
Dirinya
berharap peran para ulama, tokoh pemuka masyarakat untuk lebih menunjukkan
menjadi imam atau pemimpin untuk mendorong masyarakat akan lahirnya pemimpin
yang berkualitas dalam sebuah Pilkada dengan yang baik, dengan cara yang
Thayyiban. Selain itu ormas-ormas yang
sudah lama lahir sebelum Indonesia merdeka dan matang harus ikut berperan
memberikan penguatan dan penyadaran di masyarakat agar tidak lagi melakukan
langkah serupa.
“Karena
kalau isu SARA ini masih terus diperdebatkan dan dibiarkan negara kita ini
seperti mundur hampir 1 abad atau sama sama saja bangsa kita ini mundur lagi
seperti sebelum tahun 1945. Padahal Sumpah Pemuda 1928 sebelum Indonesia Medeka
itu dimana kita berbeda beda malah bisa menyatukan kita semuanya dan menjadi
kekuatan bangsa kita,” katanya.
Tak
hanya itu, Adnan yang juga sebagai Tokoh Muda NU ini juga meminta kepada para
generasi muda dari seluruh ormas yang ada di Indonesia untuk ikut serta mendinginkan
suasana agar isu SARA tidak lagi beredar di dunia maya. Karena dirinya selama
ini melihat ada budaya di kalangan anak muda itu sangat mudah mempercayai
informasi dari media sosial.
“Mereka
ini sangat percaya pada itu, jadi budaya klarifikasi atau Tabayyun yakni bertanya
langsung kepada sumber dengan meminta klarifikasi atau mendatangi secara
langsung untuk bersilaturahmi dengan mengadakan pertenuan bersama sekarang ini
sudah tidak ada lagi. Anak muda sekarang itu selalu suka dan berpikiran by
pass, dan menyatakan apa yang ada di media sosial itu pasti benar,” ujarnya
menyayangkan.
Untuk
itu pria yang pernah menempuh pendidikan Master di Belanda ini meminta peran
organisasi pemuda baik di NU ataupun di luar NU terutama yang islam untuk untuk tidak lelah melakukan
edukasi bahwa media sosial itu bisa punya maslahat dan mudharat yang mana bisa
memcerdaskan tapi bisa juga membahayakan, bisa memajukan tapi bisa juga
memundurkan dan bisa membangun tapi bisa juga menghancurkan.
Dirinya
berharap keterlibatan pemerintah melalui fungsi fungsi yang ada baik di Kementerian
Pemuda dan Olahraga, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama dan Kementerian
Sosial melakukan sinergi bagaimana membangun pola kreativitas terhadap kelompok
ormas dan anak anak muda untuk tidak
mengulangi hal yang serupa berupa melalui forum-forum dialog yang salama ini sangat
kurang.
“Forum
dialog antar pemuda, ormas saat ini jarang sekali dilakukan dibanding yang
pernah saya alami di era tahun 90-an lalu yang masih aktif sekali digelar. Dulu
jaman sebelum tahun 2000 masih tertib
budaya forum silaturahmi, saling ketemu antar ormas, OKP cukup luar biasa
digelar. Belakangan ini setelah terjadi liberalisasi politik, pertemuan seperti
itu semakin jarang digelar.dan berakibat anakrkisme masyarakat yang terjadi culup
luar biasa,” ujar pria
yang ditugaskan menjadi Liaison officer dan mengembangkan organisasi NU di
kawasan timur Tengah ini. (Adri Irianto)



No comments:
Post a Comment