Jakarta, ZONASATU - Ideologi
Pancasila merupakan falsafah bangsa Indonesia yang sudah tidak boleh di
tawar-tawar lagi. Namun di era globalisai
saat ini pemahamam masyarakat terutama para generasi milenial terhadap
Pancasila ini mulai tergerus dengan mulai masuknya ideologi lain.
Menjaga Pancasila sebagai pedoman bagi bangsa tentunya bukan sekedar menjaga warisan para
pendahulu, tetapi juga amanat generasi milenial sebagai khalifah untuk menjaga
bangsa ini dari kerusakan dan pertumpahan darah akibat perpecahan. Generasi muda
harus
bisa memaknai Pancasila sebagai ideologi bangsa yang dapat menyatukan dan
menciptakan kedamaian di masyarakat
“Pancasila sudah
final bagi negara dan bangsa ini. Kita tidak boleh selalu berorientasi pada budaya
luar, dimana budaya luar ini belum tentu semuanya cocok di Indonesia. Karena culture kita adalah Kebhinekaan dimana
bangsa kita terdiri dari bermacam macam suku, ras, agama yang bisa mempersatukan semuanya,” ujar Dosen
Universitas Pertahanan (Unhan) Indonesia, Laksdya TNI (Purn) Widodo, SE, M.Sc,
di Jakarta, Kamis (11/4/2019).
Namun demikian
mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan (Sekjen Kemhan) RI ini
mengakui belakangan ini sudah mulai banyak paham-paham lain
yang sudah mulai masuk secara uncontrol, baik melalui media sosial, lingkungan
atau melalui mana pun. Sehingga beberapa siswa merasa Pancasila ini seperti semacam
indoktrinasi.
“Itu bisa
terjadi karena ada masukan masukan yang salah, mungkin di sekolahnya juga tidak
terlalu dalam untuk memberikan pemahaman yang utuh mengenai Pancasila itu
kepada siswanya. Apalagi di sekolah hanya mata pelajaran tertentu atau paket
paket akademis yang diberikan beberapa SKS saja sudah selesai. Ini yang membuat
Pancasila tergerus di mata generasi milenial ini,” ujar Widodo.
Pria kelahiran
Malang 30 Juni 1959 ini mengatakan keenggan para generasi milenial untuk melihat
sejarah Pancasila sebagai ideologi bangsa dikarenakan sekarang ini mereka sudah dapat sajian-sajian secara instan yang tentunya lebih mudah dan lebih
menarik sesuai dengan pola pikirnya. Apalagi era sekarang ini segala sesuatu
sudah dibikin lebih mudah. karena adanya telepon genggam.
“Telepon genggam itu
bisa membuat kita menjadi maju tapi juga bisa merusak. Tetapi kenyataanya sekarang ini lebih
banyak merusaknya. Bahkan kita terkadang sudah jarang berinteraksi dengan
lingkungan sekitar. Contohnya kita acara
reuni di sebuah ruangan, bukannya
berkomunikasi dan berinteraksi, tetapi malah sibuk dengan telepon genggamnya
masing-masing. Itu terjadi di kalangan anak sekolah. Awalnya mereka janjian mau
makan atau kumpul bareng, setekah ketemu mereka malah sibuk sendiri dengan telepon genngamnya,” ujar pria yang juga Ketua Ikatan Alumni
Lemhanas PPSA XVII ini
Dengan melihat
hal tersebut menurutnya mau tidak mau para orang tua, sekolah, guru-guru dan
institusi-terkait harus ikut bertanggung jawab tentang ini juga harus turun
tangan dengan sering melakukan ceramah-ceramah ke daerah-daerah.
Karena masih ada kantong-kantong yang tidak tersentuh masalah ini. Dan tentunya
ini sangat berpotensi untuk menjadikan mereka tidak paham tentang ideologi yang
benar.
“Kondisi
sekarang di era keterbukaan ini mau tidak mau sangat perlu. Generasi muda ini kemasukan paham-paham radikal,
paham-paham milenial yang relatif sesuai dengan alur pikirnya mereka. Itu yang
mungkin perlu kita terus tekankan masalah Pancasila ini pada mereka,” ujar mantan
Wakil Kepala Staf Angkatan Laut (Wakasal) ini.
Melihat kondisi
itu menurutnya harus ada wadah untuk merefresh kembali tentang Pancasila yang
dilakukan pemerintah di sekolah-sekolah. Dan hal tersebut harus di wujudkan
pemerintah Karena kalau tidak maka akan terjadi banyak distorsi tentang
pengembangan sendiri ideologi Pancasila dengan wacananya sendiri sendiri.
“Sekolah negeri, swasta
maupun sekolah-sekolah asing, yang namanya selama menggunakan negara Indonesia tentunya
wajib hukumnya dan tidak ada pilihan lain untuk mengucapkan Pancasila, mengibarkan
bendera tiap hari Senin dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Itu yang tidak
dimiliki oleh sekolah sekolah swasta dan sekolah asing di Indonesia ini,” ucap
mntan Alumni AAL tahun 1983 .
Dirinya
memberikan gambaran, anak Indonesia yang sekolah di luar negeri yang mana di
sekolahnya diminta untuk menyanyi lagu kebangsaan dan menghormati bendera negara
tersebut. Karena hal tersebut dilakukan untuk merawat integritas maupun kecintaan
anak tersebut kepada negara yang tentunya
lama-lama akan tumbuh ideologinya.
“Anak-anak inikan belum tahu ini apa, ideologi atau bukan. Paling tidak kecintaan kepada negaranya. Karena dia tahu kebutuhan
daripada negaranya,” tutur mantan Komandan Komando Pembinaan Doktrin,
Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan Laut (Kobangdikal) ini.
Untuk itu
dirinya meminta kepada dunia pendidikan terutama kepada para guru untuk
dapat mendidik para generasi milenial ini secara
sungguh-sungguh. Ini agar mereka
mempunyai integritas atau punya kemauan untuk mengontrol lingkungan sekitar nantinya.
“Ini agar generasi
muda nantimnya bisa bertindak sebagai khalifah dalam mengawal dan merawat
ideologi Pancasila di tengah-tengah masyarakat. Pelajaran budi pekerti harus
dihidupkan kembali. Karena budi pekerti itu adalah perjalanan Pancasila secara mendasar.
Dan sekarang itu sudah hilang,” ucap mantan Panglima Armada RI Kawasan Barat
ini.
Menurutya
generasi muda ini harus dikawal agar dia nanti bisa menularkan dan mempunyai
tanggung jawab moral. Pemerintah tidak boleh membiarkan. Misalnya generasi muda membentuk
komuniatas-komunitas yang toleran. Pemerintah harus mewadahi.
“Karena anak muda ini
butuh saluran, tapi kalau tidak disalurkan dia bisa akan cari sendiri-sendiri
dan itu akan berbahaya buat bangsa ini kalau mereka tersusupi yang tidak
benar,” ujarnya mengakhiri
Editor | : Adri Irianto |
Foto | : - |
Sumber | : - |
No comments:
Post a Comment