Jakarta, ZONASATU - Beberapa hari
sebelum hadirnya bulan Ramadan ini, bangsa Indonesia telah
melakukan
pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) dengan agenda
Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) Dimana sebelum
Pemilu itu ada proses kampanye yang sangat panjang dan menyita perhatian publik sehingga masyarakat
Indonesia seperti dibuat terkotak-kotak karena adanya fitnah, penyebaran berita
bohong (hoax) dan sebagainya.
Imam Besar
Masjid Istiqlal, Prof. KH. Nasaruddin Umar, MA, Ph.D, menghimbau kepada masyarakat Tanah Air khususnya umat muslim untuk bisa memaknai bulan
Ramadan ini sebagai momentum terbaik untuk mempererat tali persaudaraan, perdamaian dan saling
memaafkan. Hal ini dikarenakan bulan Ramadan kali ini bagi bangsa Indonesia ini
betul-betul sangat rahmat. Karena Ramadan hadir di waktu yang tepat dan sangat timely.
“Dimana saat sebelum Pemilu kemarin tentunya kita pernah dilukai hati kita oleh orang lain, mungkin kita pernah dikecewakan oleh orang lain. Dan
bahkan kita mungkin juga pernah
mengecewakan atau melukai hati orang lain. Nah di bulan
suci Ramadan ini kita dianjurkan untuk saling memaafkan untuk mempererat tali persaudaraan dan perdamaian,” ujar Prof KH.
Nasaruddin Umar, di Jakarta, Kamis (9/5/2019).
Lebih lanjut
mantan Wakil Menteri Agama Ri ini berharap agar dengan adanya bulan
Ramadan ini, kita semua dapat mendinginkan situasi yang diibaratkan Panas
Setahun Dihapuskan oleh Hujan Sehari. Untuk itu dirinya mengimbau kepada umat Islam pada khusunya, untuk menjadikan bulan suci Ramadan ini sebagai bulan penyejuk,
bulan pendingin dan bulan untuk mendamaikan satu sama lain di antara kita.
“Sehingga
diharapkan nantinya
begitu kita keluar dari bulan suci Ramadan ini seperti sudah tidak pernah ada apa-apa. Jadi kita tidak
ada lagi semacam dendam, tidak ada lagi kekecewaan yang muncul, sehingga
ringan beban kita dan termaafkan oleh Allah SWT secara vertikal, dan ringan juga beban kita karena kita sudah saling
memaafkan secara horizontal,” kata pria
kelahiran Bone, 23 Juni 1959 ini.
Dengan demikian menurut Prof. Nasaruddin, jika kita bisa saling
memaafkan maka bulan Ramadan ini akan melunasi
kita semuanya, membereskan kita semuanya dan melicinkan segalanya. Hal ini agar kita
semua kedepannya agar lebih fokus untuk
membangun negeri inidi masa depan, agar bangsa ini juga bisa bersaing dengan
negara-negara yang sudah maju lainnya.
“Dan kalau perlu
kita bisa melebihi negara-negara
lainnya itu. Karena
kita ini kan berobsesi Baldatun
Thayyibatun wa Rabbun Ghafur yakni negeri yang sangat indah dan penuh dengan pengampunan Tuhan,” kata pria yang juga Wakil Ketua Dewan Pertimbangan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.
Menurutnya,
dengan adanya Pemilu kemarin itu dirinya meminta kepada segenap warga
masyarakat dan bangsa Indonesia bahwa kita semua harus bisa bersyukur dan belajar di sebuah pengalaman yang sangat
bagus dalam demokrasi di Indonesia ini. Dimana dirinya memberikan contoh sejatinya banyak sekali
orang orang lain seperti masyarakat Timur Tengah yang negara-negaranya
mayoritas muslim ingin seperti Indonesia.
“Dimana mereka ingin juga untuk menentukan
pimpinannya sendiri, tapi apa boleh buat hal itu tidak bisa terjadi. Karena di negara
mereka (kawasan Timur Tengah) pimpinannya itu ditentukan nasibnya oleh segelintir orang yang berdarah ‘biru’, dimana meraka
ini adalah negara Kerajaan. Jangan mimpi bisa menjadi
Kepala Negara kalau tidak ada turunan darah ‘biru’ nya,” kata pria
yang juga Rektor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an (PTIQ) ini.
Hal ini
menurutnya sangat berbeda jauh dengan di Indonesia, dimana setiap
warga negara itu bisa dan punya hak untuk menjadi Kepala Negara sekalipun. Sementara kalau di negara-negara Kerajaan tentunya tidak
mungkin bisa seperti Indonesia.
“Nah jadi itu. Jadi kita harus bersyukur kalau
ada kemarin hal-hal yang sedikit riak-riak itu
sebenanya adalah
bumbu-bumbu demokrasi lah. Lebih baik seperti itu daripada terlihat suasana yang Adem, tapi sebenarnya terlihat mencekam Kalau itu terjadi, ledakannya bisa seperti di Suriah, Irak, Afghanistan. Tentunya
kita tidak ingin seperti itu. Mari kita berikan
semacam kanalisasi terhadap sesuatu yang
bisa menimbulkan ledakan dalam batin kita masing-masing,” ujar peraih Doktoral dari Universitas Leiden, Belanda
ini.
Karena bulan suci
Ramadan ini menurutnya betul-betul sangat indah
karena bisa mendamaikan semua orang serta bisa menyejukkan situasi. “Dimana malam malam kita bisa pergi untuk bertarawih bersama,
kemudian di dalam masjid sudah tidak adalagi yang namanya 01 atau 02. Hilanglah semua itu di dalam
masjid. Yang ada
hanya Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Allahu Akbar, kan seperti
itu,” kata peraih Pascasarjana dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
Untuk itu
dirinya juga menghimbau kepada para seluruh tokoh-tokoh bangsa, tokoh agama dan
tokoh masyarakat untuk bisa memelihara dan
menahan
diri untuk tidak
memberikan statement yang bisa membikin situasi menjadi keruh kembali. Setelah
Ramadan ini nanti tentunya semua pihak harus tetap bisa mendinginkan situasi.
“Hemat saya, bukan orang
hebat, bukan oranglah
pintar yang tidak pernah me-ngerem apapun yang ada
di dalam benaknya. Tidak mesti harus mengungkapkan semua uneg-uneg (perasaan yang terpendam) yang mampir di Kepala kita. Karena orang yang
matang adalah orang yang mampu untuk bicara seperlunya’ tuturnya.
Karena menurut mantan
Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam di Kementerian Agama ini, kalau
tidak ada keuntungannya tentunya kenapa harus bicara yang bisa membuat suasana menjadi keruh. “Biarkanlah kita
pendam sendiri saja. Biarkanlah
orang lain mungkin jatuh, tapi jangan
karena dari mulut kita. Mari kita jangan
menjadi faktor penyebab situasi semakin keruh, tapi jadilah faktor yang dapat membikin situasi menjadi lebih tenang,” katanya mengakhiri.
Editor | : Adri Irianto |
Foto | : Istimewa |
Sumber | : - |
No comments:
Post a Comment