Jakarta, ZONASATU - Bulan
Ramadan bukan sekedar menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari
emosi, kebencian dan perpecahan. Karena Ramadan yang diperingati oleh seluruh
umat Islam di berbagai penjuru dunia menjadi momentum terbaik bagi umat Islam
membangun persaudaraan dan perdamaian.
Masyarakat muslim di Indonesia harus dapat menjadikan bulan Ramadan itu sebagai sarana
untuk penyucian jiwa maupun penyucian pikiran dengan membuka, membaca, merenungkan dan memaknai
kitab suci Al-Quran. Ini sebagai upaya untuk menyegarkan pikiran dalam
membangun persaudaraan dan perdamaian di tengah masyarakat.
“Bulan Ramadan
ini tentunya harus kita gunakan sebagai wadah untuk penyucian pikiran agar
pikirannya itu menjadi pikiran yang sehat dan pikiran yang bertanggung jawab.
Dengan merenungkan dan memaknai Al-Quran itu
mudah-mudahan bisa menjadi petunjuk mengenai apa yang harus kita lakukan
dalam kondisi bangsa semacam ini. Karena
hidup ini adalah sebuah ujian untuk kita agar bisa beramal dan berbuat
yang baik untuk negara dan bangsa ini,” ujarKetua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Provinsi DKI Jakarta, Prof. Dr. Ahmad Syafii Mufid di
Jakarta, Selasa (7/5/2019).
Lebih lanjut
pria yang juga menjabat sebagai Direktur Indonesia Institute for Society
Empowerment (INSEP) ini mengatakan, dengan perbuatan yang baik itulah yang
nantinya menjadi bekal kita semua sebagai manusia untuk kembali kepada Allah
SWT.
“Kalau kita
tidak memikirkan itu, tentunya kita nanti yang akan rugi. Sekarang ini kita
muda, sebentar lagi menjadi tua, setelah tua kita meninggal. Nah kalau
meninggal apa yang kita bawa kalau bukan amal perbuatan kita selama di
dunia. Kalau tidak ada yang kita bawa
maka kita nanti akan menyesal. Itu dari sisi kegaiban,” ujar peraih Doktoral dari
International Institute for Asian Studies (IIAS), Universitas Leiden, Belanda
ini.
Lalu dari sisi
lahiriyah menurutnya, kalau manusia sudah makin tua, tidak punya lagi jabatan
atau pengaruh lagi di masyarakat yang mana hidupnya selama ini dituntun oleh orang lain,
maka mereka nantinya akan sadar bahwa apa yang diperbuat dan dilakukannya selama ini dengan berbagai
macam model misalkan berbuat jahat, tidak jujur, tidak adil, suka memfitnah
atau mengatakan dengan kata-kata yang tidak benar, itu nanti penyesalannya akan luar biasa.
“Itu yang
seringkali tidak disadari, tidak dipahami oleh orang-orang yang masih sehat, masih
gagah, uangnya banyak dengan kekuasaan itu. Bahwa menjaga lisan dan juga
perbuatan kepada sesama umat manusia itu juga merupakan sesuatu bekal yang akan
kita bawa di akhirat nanti,” ujarnya
Tak hanya itu
pasca pesta demokrasi yang telah dijalankan bangsa ini, dirinya meminta kepada
seluruh masyarakat agar dapat menjalin silaturahmi dengan tidak mengumbar emosi, kebencian, makian dan
permusuhan. Dirinya merasa prihatin kalau masih saja ada dari sebagian masyarakat
yang berpikirnya untuk sendirian, kelompok yang senantiasa untuk menafihkan diri
orang lain dan kelompok orang lain.
“Bolehlah
berkontestasi atau bermusabaqoh. Tetapi bermusabaqohlah atau berkontestasilah
secara jujur, adil dengan menggunakan pikiran, hati dan perasaan secara baik,
utuh, manusiawi dan ber Akhlakul Karimah,” kata peraih Pascasarjana Antropologi dari Universitas
Indonesia ini.
Dirinya
mengamati dalam jejaring media sosialnya yang ternyata banyak sekali kontestasi
itu diwarnai dengan penyebarluasan kampanye negatif atau kampanye hitam dari
masing-masing pihak terhadap pihak lawannya. Dan itu terjadi selama delapan bulan lebih dan bahkan memasuki
bulan Ramadan ini pun juga masih ada. Hal tersebut entunya menjadi problem
besar bangsa ini.
“Karena bangsa
ini sudah terkotakkan. Orang yang netral, berada ditengah-tengah pihak dan
berusaha bijaksana sudah ditarik kesana-kesini untuk membuat pernyataan ini-itu,
dukungan kepada kelompok ini-itu. Sehingga ketika terjadi pemilahan sosial
semacam ini tentunya menjadi sulit siapa yang bisa diterima oleh kedua belah
pihak. Tentunya ini problem serius buat
bangsa kita saat ini,” katanya.
Diakuinya,
dengan kondisi seperti itu tentunya agak sulit untuk mencari sosok figur yang
netral yang bisa menjadi panutan masyarakat. Namun demikian menurutnya, kita semua tidak boleh putus asa. Di bulan
Ramadan inilah sejatinya kita semua mau untuk introspeksi dan mawas diri.
“Apa yang telah
kita lakukan selama ini tentunya kita banyak istihfah kepada Allah dan membaca Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia seluruhnya. Karena di dalam Quran itu disebutkan bukan untuk muslimin
saja, tapi untuk seluruh manusia. Dan fungsinya untuk membentengi untuk membedakan mana yang hak dan mana yang
batil, mana yang benar dan mana yang salah,” ujarnya.
Menurutnya,
melakukan tadarus Al-Quran bagi umat muslim itu adalah untuk menempatkan wahyu
Allah itu diatas pikiran manusia. “Jangan di balik wahyu Allah di tafsirkan
menurut emosi, perasaan dan nafsu manusia. Kalau terbalik seperti itu yang
terjadi adalah panas. Kalau panas itu terjadi maka yang terjadi adalah permusuhan
antara yang satu dengan yang lain,” ujar
Peneliti Senior Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan, Badan
Litbang dan Diklat, Kementerian Agama ini.
Untuk itu mantan
Ketua Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi
DKI Jakarta ini meminta kepada seluruh umat muslim bahwa bulan Ramadan ini harus bisa menjadi momentum terbaik bagi umat Islam
membangun persaudaraan dan perdamaian.
Karena masyarakat Islam di Indonesia dan
di seluruh dunia telah menyambut Ramadhan dengan berbagai macam tradisi yang
sangat luar biasa, indah dan penuh makna.
“Kalau di
Semarang ada acara namayna Warak Ngendog dalam menyambut Ramadan. Warak Ngendok
itu adalah simbolisasi yang bermula dari ajaran para wali di jaman dahulu.
Warak itu diibaratkan makhluk rekaan yang merupakan akulturasi/
persatuan dari berbagai golongan etnis di Semarang yaitu etnis Cina, etnis Arab
dan etnis Jawa sebagai upaya intuk
menjaga kehormatan, perilakunya agar sesuai dengan akhlak yang mulia,” ujarnya.
Dijelaskan
Syafii Mufid, hal itu terjadi karena di jaman Wali dulu, kalau manusia bisa
menjaga perilaku dengan akhlak yang mulia, maka Warak itu akan Ngendok
(bertelur) yang artinya berbuah dan bermanfaat, sehingga menjadi manusia yang
bermanfaat. Sehingga dapat menjadi manusia yang bisa menjaga moral, budi
pekerti, akhlak, karakter yang luhur.
“Nah Ramadan itu
di ibaratkan sebagai Warak yang Ngendok itu. Ini merupakan simbolisasi yang
dibuat oleh para pendahulu kita tentang memaknai Ramadan dalam bentuk festival
atau tradisi yang dibalut dengan kesenian.
Bahkan di daerah-daerah lain ada yang berziarah ke makam orang tua dengan
mendoakan kedua orang tuanya. Itulah suasana yang menandai datangnya bulan suci
Ramdan,” ujarya mengakhiri..
Editor | : Adri Irianto |
Foto | : - |
Sumber | : - |
No comments:
Post a Comment