Zonasatu.co.id, Jakarta -Kecelakaan
pesawat angkut militer Hercules C-130 dengan registrasi A-1310 milik Skuadron
32 TNI Angkatan Udara di Medan, Sumatera Utara, Selasa (30/6), menjadi duka
Indonesia. Dalam keterbatasan anggaran, para prajurit TNI tetap teguh
mengabdikan jiwa dan raganya demi menjaga kedaulatan dan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan terus berani menerbangkan Hercules, yang kerap
disebut "Herky".
Musibah yang merenggut 12 prajurit TNI AU itu tidak
memadamkan keberanian penerbang militer lain untuk menerbangkan pesawat yang
tergolong sudah uzur tersebut. Mereka selalu mempersiapkan diri sebaik mungkin
demi mengantisipasi berbagai kemungkinan gangguan penerbangan.
"Tua dan muda itu relatif karena ada juga pesawat
yang baru berusia setahun jatuh. Karena itu (ukuran) yang dipakai laik atau
tidak laik terbang," kata Letnan Kolonel (Pnb) Fata Patria dalam
perbincangan dengan Kompas di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (2/7).
Fata sudah menjadi penerbang Hercules begitu tamat
Akademi Angkatan Udara pada 1998. Sejak tahun 2000, ia bergabung di Skuadron
31, Pangkalan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma.
Seorang rekannya semasa pendidikan turut menjadi korban
dalam kecelakaan yang menimpa pesawat Hercules C-130 di Magetan, Jawa Timur,
pada 2009. Ketika bencana tsunami meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004,
Fata merupakan pilot yang pertama kali mendaratkan pesawat berbadan besar itu
di Aceh. Pengalaman tersebut sungguh melekat dalam benaknya. Fata kerap terharu
saat mengenang betapa hancurnya Aceh akibat tsunami ketika itu. Ia merasa
senang bisa membantu korban tsunami, tetapi ia juga sedih menyadari
keterbatasannya dalam mengevakuasi korban.
Boleh jadi karena itu pula, walaupun kecelakaan pesawat
Hercules telah terjadi beberapa kali di Indonesia, ia tidak gentar untuk
kembali menerbangkannya. "Sebagai pilot, mental kami ketika masuk pesawat
sudah siap mengantisipasi kondisi darurat," tutur lulusan program
pascasarjana Australian National University itu.
Tidak bercerita
Insiden selama penerbangan juga bukan tak pernah dihadapi
Fata, tetapi ia tak pernah menceritakannya kepada keluarganya. Ia tidak mau
membuat mereka khawatir.
Kolonel (Pnb) Purwoko Aji Prabowo juga pernah mengalami
insiden saat menerbangkan Hercules. Ketika ia masih berpangkat kapten, pesawat
yang diterbangkannya mengalami gangguan mesin. Ia tengah menerbangkan pesawat
Hercules dari Jakarta menuju Madiun saat salah satu dari empat mesin pesawat
itu tak berfungsi. Beruntung, ketika itu pesawat sudah tidak jauh dari Lanud
Iswahjudi, Madiun. Ia menyiapkan pendaratan dengan tiga mesin. Pesawat pun
mendarat dengan baik.
"Rata-rata penerbang Hercules pernah mengalami satu
mesin mati, tetapi kami bisa mengantisipasi dengan latihan menggunakan
simulator," tuturnya.
Saat ditanya mengenai tanggapan keluarga soal insiden
itu, Purwoko mengaku tak pernah menceritakan hal tersebut kepada istri dan
anaknya. "Menurut saya itu tugas tentara. Jadi, ketika pulang ke rumah,
ya, bersikap biasa saja," ujar Purwoko.
Purwoko menilai penerbang harus memiliki kepercayaan
diri, tetapi juga tak boleh angkuh. Dengan demikian, penerbang bisa lebih
cermat dan berhati-hati saat mempersiapkan diri dan pesawat sebelum terbang.
Dari sisi sumber daya manusia, dia menilai penerbang Hercules rata-rata
memiliki pengalaman memadai. Mereka harus menjalani tahapan pelatihan
berjenjang yang membutuhkan jam terbang cukup tinggi, dimulai dari menjadi
kopilot hingga menjadi pilot tamu penting (VVIP) penumpang pesawat Hercules.
Belajar dari kecelakaan Hercules C-130 A-1310, Purwoko
dan Fata hanya berharap pemerintah tetap menaruh perhatian pada penyediaan
pesawat baru dan pemeliharaan pesawat yang baik. Menurut mereka, kedua hal
tersebut akan sangat membantu para penerbang-penerbang muda dalam bertugas.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara Marsekal
Pertama Dwi Badarmanto, secara terpisah, mengatakan, dari hasil evaluasi pada
beberapa kecelakaan pesawat milik TNI AU, faktor utama penyebab kecelakaan
terletak pada peralatan, bukan pada persoalan sumber daya manusia. Dia menilai
TNI AU memiliki banyak pilot yang berkualitas.
Dia mengakui, ketersediaan anggaran untuk alat utama
sistem persenjataan (alutsista) TNI AU masih jauh dari kebutuhan minimum.
Selain anggaran alutsista, Dwi juga berharap agar kesejahteraan dan pendidikan
personel TNI AU diperhatikan. Dengan demikian, peristiwa semacam ini bisa
dihindari dan Indonesia tak lagi kehilangan penerbang terbaik.(Kompas)


