![]() |
| Suasana arus mudik lebaran di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta |
Lebaran telah tiba, Fenomena mudik atau pulang kampung
menjelang Idul Fitri, sudah menjadi tradisi bagi umat muslim di Indonesia. Selama
hampir dua minggu, seluruh stasiun
televisi dan media massa lainnya “hiruk pikuk” berlomba-lomba memberitakan hajat
tahunan masyarakat kita. Dengan berbagai alat transportasi dari darat, laut,
maupun udara, masyarakat berbondong-bondong untuk bersilaturahmi bersama sanak
saudara.
Efek fenomena mudik lebaran adalah pergi satu pulang dua.
Seringkali terjadi, tradisi “membawa” keluarga ikut serta oleh para pemudik
saat mereka kembali ke Jakarta
atau kota besar lainnya. Kebiasaan yang terjadi tesebut, dampak dari besarnya
antusias masyarakat di desa akan terjadi perbaikan ekonomi sosial dengan melakukan
hijrah ke ibu kota.
Beberapa peneliti dan para Sosiolog memandang hal ini
sebagai suatu situasi yang membudaya dikalangan masyarakat kita dan harus
mendapat perhatian serius dari pemerintah setempat. Masih banyak masyarakat
awam berpendapat jika dengan merantau di kota besar pasti akan sukses dan
berhasil, padahal pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar. Beberapa pengamat mengatakan
jika tradisi mudik yang seperti ini (Pergi satu pulang dua) terus berlanjut tidak
menutup kemungkinan akan menjadi “bumerang” bagi kota-kota yang menjadi target
urbanisasi.
Jakarta misalnya, adalah daerah yang paling banyak
menjadi tujuan urbanisasi pasca momentum mudik lebaran. Sebagai
ibukota negara, pemerintah tidak bisa berbuat banyak dengan kondisi
tersebut. Karena secara otomatis,
urbanisasi musiman ini juga memberi dampak beragam pada kehidupan sosial
masyarakat Jakarta itu sendiri.
Meningkatnya jumlah penduduk ibukota tanpa dibarengi
dengan jumlah lapangan pekerjaan yang memadai tentu dapat berpotensi memicu
meningkatnya angka pengangguran dan kriminalitas. Itu adalah hal yang paling mungkin terjadi ketika
orang-orang “korban urbanisasi” tersebut berusaha bertahan hidup dikota dengan
biaya hidup yang cukup tinggi.
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 pernah mencatat jika
dalam kurun waktu setahun (Februari 2014 sampai dengan Februari 2015) angka
pengangguran di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup banyak sekitar 300
ribu orang sehingga total keseluruhan menjadi 7,45 juta orang.
Untuk menghindari dampak “gagal merantau” yang pada
akhirnya malah memberi efek buruk pada kehidupan sosial di kota besar, beberapa
pengamat sosial memberi rambu-rambu yang semestinya diperhatikan bagi para
perantau yang ingin mengadu nasib di ibukota seperti Jakarta, Surabaya dan
kota-kota besar lainnya.
Pertama, harus memiliki skill (keahlian), karena sampai
sekarang ini masih banyak dijumpai sebagian besar masyarakat ketika sudah
sampai di ibu kota mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan bahkan diantaranya
tidak memiliki skill sama sekali sehingga mau tidak mau mereka harus tersisihkan
karena kalah berkompetisi. Kedua, harus
memiliki mental pekerja keras dan ulet, ini juga salah satu syarat wajib yang
harus dimiliki oleh para perantau agar selalu siap menghadapi berbagai
kemungkinan selama diperantauan. Ketiga, adanya kepercayaan diri yang tinggi, karena
mengadu nasib di ibukota tidak cukup hanya bermodalkan pintar dan ahli saja,
melainkan juga harus memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Penulis : Dheenar Risanda


