![]() |
Bendera Israel berkibar bersebelahan dengan bendera Indonesia di Tolikara Jayapura Papua |
Kasus Tolikara bisa dikatakan sebagai “Test water” yang dilakukan asing untuk melihat reaksi Indonesia saat isu yang sama (SARA) dihembuskan di bumi Cendrawasih.Sejak Indonesia merdeka dan terbebas dari penjajahan asing tahun 1945, Indonesia sepertinya tidak pernah lepas dari isu – isu yang berkaitan dengan keamanan nasional, apalagi yang berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Anehnya, semua peristiwa yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia tersebut selalu berkaitan dengan isu SARA yang memang mudah dijadikan sebagai alat pembakar situasi di negara yang kaya etnis ini.
Berbagai dugaan dan spekulasi yang mengarah adanya keterlibatan
asing di Indonesia memang tidak bisa diabaikan begitu saja mengingat sejak
jaman dulu asing sangat berkepentingan dan selalu diketahui memainkan peran
ganda di Indonesia. Disatu sisi mereka mendukung kebijakan politik Indonesia
tapi disisi lain mereka juga suka menikung dari belakang dengan menunggangi isu
– isu yang menguntungkan mereka.
Seperti kasus pembakaran musholah milik umat muslim di
Tolikara Jayapura Papua oleh massa Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) beberapa
waktu lalu (17/7/2015) disinyalir asing berada dibalik peristiwa yang
berpotensi menimbulkan konflik Komunal tersebut. Pasalnya peristiwa Tolikara
terjadi setelah jurnalis asing diperbolehkan masuk ke Papua setelah sempat
dilarang karena isi pemberitannya yang cenderung merugikan pihak Indonesia.
Selain itu dalam acara yang digelar oleh GIDI juga dihadiri oleh sejumlah
perwakilan dari negara asing seperti Belanda, Israel, Palau dan Papua Nugini. Padahal
sebelumnya kasus seperti ini tidak pernah terjadi di Papua, apalagi masyarakat
Papua bisa dikatakan memiliki sikap toleransi beragama yang baik.
Letjen (Purn) Johanes Suryo Prabowo mantan Kepala Staf
Umum TNI sangsi jika kasus Tolikara adalah murni kriminal. Dia mengatakan jika
kasus Tolikara terdapat konspirasi Global yang menginginkan Papua lepas dari
bumi pertiwi. Parameternya adalah adanya kemiripan kasus antara Tolikara dengan
Timtim yang sama – sama dipicu konflik Komunal akibat pembakaran tempat
peribadatan.
![]() |
Pasukan INTERFET Australia berpatroli di Dili 1999 |
Sebelum Timtim lepas jauh tahun sebelumnya (1996)
Australia sudah menyiapkan ribuan pasukannya di Darwin dan dilatih agar terbiasa
hidup di daerah tropis seperti Indonesia. Tahun 1999 Australia berhasil masuk ke
Timtim dibawah payung hukum PBB sebagai INTERFET (International Force for East
Timor) berkedok pasukan “penengah” setelah sebelumnya berhasil membuat bumi
Loro sae mengalami “perang saudara” yang dipicu isu SARA. Sasarannya jelas,
setelah Timtim lepas akan ada pembagian hasil antara Timtim dengan negara
Kangguru berupa sumber daya alam di celah Timor.
Kasus Tolikara bisa dikatakan sebagai “Test water” yang
dilakukan asing untuk melihat reaksi Indonesia saat isu yang sama (SARA)
dihembuskan di bumi Cendrawasih. Pemerintah dan rakyat Indonesia harus lebih jeli
dan hati – hati menyikapi permasalahan Tolikara ini, apalagi sudah bukan
rahasia jika di Papua terdapat puluhan negara asing yang “numpang” makan dan tidak
mau pergi begitu saja meski yang punya rumah mengusirnya pakai “sapu”.
Perlu diingat, tahun 2013 Amerika salah satu negara yang
juga memiliki kepentingan besar di Papua sudah memindahkan puluhan ribu
prajuritnya ke Fort Robertson Darwin Australia dengan dalih sebagai pasukan reaksi
cepat bantuan bencana alam, jumlah yang terlalu besar bagi ukuran pasukan penanggulangan
bencana alam. Sedangkan Darwin adalah wilayah yang sama saat Australia menyiapkan
ribuan prajuritnya masuk ke Timtim sebagai pasukan INTERFET.
Penulis : Ahmad
Budi Setiawan