
"Kita melihat sampai sekarang terkait masukan Panglima TNI, Kemenkumham yang maju mewakili pemerintah tampaknya belum diramu jadi sikap resmi pemerintah. Kita menganggap surat itu tidak bisa diabaikan begitu saja," kata Hanafie dia Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (29/1/2018).
Hanafi menuturkan bahwa saat ini di internal pemerintah belum satu suara soal pelibatan TNI dalam RUU Antiterorisme. Dia mengatakan, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme harus berdasarkan persetujan presiden dan DPR. Sebab, undang-undang itu merupakan keputusan politik negara.
Hanafie menjelaskan, apabila Presiden menyetujui, Badan Negara Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai lembaga langsung di bawah koordinasi presiden, dapat datang ke DPR untuk dimintai persetujuan. Apalagi, BNPT bertugas untuk menetapkan kebijakan dan langkah-langkah penanganan krisis, eskalasi ancaman, termasuk dalam menangani terorisme.
"Ketika pada level yang bahkan darurat, ini bisa masuk ke sana. Saya berharap bisa satu suara," jelas Hanafie.
Menurut Hanafi, Pansus telah memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk menyamakan sikap sebelum rapat antara Pansus dan pemerintah kembali dilanjutkan.
"Yang krusial memang soal pelibatan TNI dalam penanganan terorisme dan kami di Pansus memberi kesempatan kepada pemerintah untuk kembali membuat dialog internal di antara mereka sendiri, termasuk melibatkan panglima TNI untuk membahas usulan. "Sehingga kami ingin ketika rapat dengan Pansus sikap pemerintah itu sudah tunggal. sudah satu suara," tutur anak mantan Ketua MPR RI, Amien Rais ini
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengakui adanya perbedaan pendapat soal pelibatan TNI dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ( RUU Anti-terorisme).
"Memang revisi ini kan sudah dibahas dulu di antara kementerian dan lembaga, baru diajukan ke DPR. Nah ada perbedaan sedikit," ujar Yasonna saat ditemui di gedung Nusantara II, DPR RI, Jakarta, Kamis (25/1/2018).
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengusulkan judul undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme diubah menjadi penanggulangan aksi terorisme. Dengan menghilangkan kata tindak pidana maka UU Anti-terorisme dinilai dapat mewadahi kepentingan tugas dan peran TNI.
Namun, Yasonna menilai perubahan judul undang-undang akan membuat waktu pembahasan revisi di DPR menjadi lebih lama. Dengan menghilangkan kata tindak pidana, maka pemerintah harus menyusun naskah akademik baru.
Di sisi lain, pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme sudah diatur dalam Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Yasonna menegaskan bahwa UU tersebut telah mengatur pelibatan TNI dalam menanggulangi terorisme. Pengerahan kekuatan TNI untuk operasi militer selain perang harus didasarkan pada keputusan politik atau persetujuan presiden.
"Seharusnya pemerintah tidak boleh lagi berbeda pendapat karena sudah dimasukkan sebelumnya. Ini kan usul pemerintah, bukan parlemen. Seharusnya antar pemerintah sudah harus solid," kata Yasonna..(Himawan Aji)
No comments:
Post a Comment