Jakarta, ZONASATU - Banyaknya berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian yang beredar di masyarakat melalui
media sosial (medsos) tentunya menjadi tantangan terbesar bagi dunia pers dan
media mainstream pada saat ini. Sebagai
sumber informasi, pers menjadi tidak diminati masyarakat daripada medsos.
Bahkan tidak jarang justru pers malah mengikuti arus narasi dan wacana yang berhembus dari medsos meski informasi di medsos tersebut belum terkonfirmasi kebenaran informasinya. Media mainstream harus menjadi sumber informasi utama kepada masyarakat untuk membandingkan validitas informasi yang bertebaran di medsos.
Bahkan tidak jarang justru pers malah mengikuti arus narasi dan wacana yang berhembus dari medsos meski informasi di medsos tersebut belum terkonfirmasi kebenaran informasinya. Media mainstream harus menjadi sumber informasi utama kepada masyarakat untuk membandingkan validitas informasi yang bertebaran di medsos.
Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, meminta kepada media mainstream atau dunia
pers untuk bisa ikut berperan aktif dan ikut menangkal hoax dan ujaran
kebencian yang telah beredar di medsos ataupun di dunia nyata . Dunia pers
jangan ikut terjebak dalam penyebaran informasi berita yang bersumber dari
medsos yang tentunya belum terverifikasi kebenaran berintanya.
“Di
tengah maraknya banjir informasi yang memunculkan hoax, dan ujaran kebencian,
maka media mainstream dan media profesional harus bisa menjadi rumah penjernih
atau clearing house sebagai tempat orang untuk bisa menemukan berita yang benar
sesuai fakta. Media harus bisa menjadi bahan rujukan bagi masyarakat untuk
mengecek kebenaran informasi yang mereka dapatkan,” ujar Yosep Adi Prasetyo di Jakarta,
Rabu (13/2/2019).
Diakuinya, saat ini dunia pers atau
media mainstream sebagai sumber informasi seperti tidak diminati masyarakat
sebagai sumber informasi dikarenakan ada beberapa faktor penyebab. Penyebab
pertama ada banyak pemilik media menjadi Ketua ataupun Pimpinan Partai atau
berafiliasi pada partai tertentu sehingga menjadikan media tersebut sebagai
boncengan politik.
Lalu penyebab kedua dikarenakan ada pergeseran pembaca, dimana yang membaca
bahan-bahan cetakan hanya sisa dari Generasi Baby Boomers dan sebagian Generasi
X. Lalu ke Generasi Y dan Generasi Z sudah tidak lagi membaca koran atau
majalah, bahkan juga tidak menonton TV lagi.
“Mereka adalah kelompok milenial yang
notabene adalah digital native yang mendapatkan informasi dari gadget yang ada
dalam genggaman, berkomunikasi menggunakan medsos dan menonton hiburan/film
dari youtube, Netflix dan lain-lain,” kata pria yang akrab disapa Stanley ini
menjelaskan.
Faktor penyebab lainnya dikarenakan industri media mengalami kegamangan dan
kehilangan sumber-sumber peliputan. Hal ini dikarenakan para pejabat ataupun
tokoh yang selama ini menjadi sumber informnasi berita juga lebih suka membuat
vlog dan selfie yang tentunya bisa langsung
dikomunikasikan ke masyarakat melalui medsos.
“Para pejabat sekarang ini sudah tidak
lagi berbicara dengan para pemimpin redaksi dan wartawan senior. Karena itulah
wartawan kemudian membuat berita dari pernyataan pejabat ataupun tokoh yang telah
diunggah di medsos,” ujar pria kelahiran Malang, 20 Juni 1959 ini.
Untuk itu pria yang pernah menjadi Wakil
Ketua Komnas HAM ini berharap agar dunia pers untuk bisa mengembalikan
kepercayaannya di mata masyarakat
sebagai sumber berita yang terpercaya seperti sebelum ada lahirnya medsos.
“Caranya ya dengan mengembalikan fungsi
pers yang fokus pada kepentingan public. Bisa membuat berita secara
profesional, taat kepada Kode Etik Jurnalistik. Tidak menggunakan bahan
informasi yang ada di medsos menjadi berita, kecuali memang ada kepentingan
publik dan itupun harus melalui proses verifikasi, klarifikasi, dan konfirmasi,”
ujarnya.
.
Dirinya juga berharap kepada media
mainstream atau pers juga tidak ikut terbawa arus dalam pemberitaan yang viral
melalui medsos yang belum tentu benar pemberitaaanya tersebut. “Pers harus memegang
teguh dan melaksanakan Kode Etik Jurnalistik, disiplin melakukan verifikasi
terhadap setiap informasi, dan tak tergoda untuk memburu isyu yang viral di
medsos,” kata Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Dirinya juga meminta kepada masyarakat untuk dapat percaya kembali pada pemberitaan
yang bersumber dari media mainstream tanpa melalui medsos. Masyarakat diminta untuk tidak
terlalu percaya dari sumber yang ada di medsos itu. Karean apa yang ada dan
dimuat medsos sifatnya hanya sebagai informasi semata, yang tentunya berbeda
dengan berita yang dimuat media mainstream.
Setiap
mendapat informasi yang meragukan, misalnya meminta diviralkan, mengajak orang
untuk menyerang orang lain, bernada hasutan dan kebencian baik yang disebarkan
melalui medsos atau yang terjadi di dunia nyata sebaiknya dicek terlebih dahulu
pada sumber-sumber yang kredibel atau sumber media mainstream.
“Masyarakat
harus juga memcari informasi dari media mainstream. Dan tentunya tugas dari pers atau media mainstreamlah yang
harus dapat meluruskan dan memberikan informasi yang valid kepada masyarakat
terhadap berita yang beredar di medsos atau di dunia nyata tersebut. Ini agar
masyarakat sendiri tidak mudah terpengaruh terhadap hoax ataupun ujaran
kebencian yang timbul dari medsos atau yang tersebur melalui kehidupan nyata tersebut,”
katanya mengakhiri.
***
Penulis : Adri Irianto
Sumber : -
Penulis : Adri Irianto
Sumber : -
No comments:
Post a Comment