![]() |
| F16 Fighting Falcon TNI AU |
Konsep utama dan
paling penting adalah pemahaman akan perang. Untuk perang udara yang menjadi
salah satu ikon kekuatan utama perang masa depan, kekuatan pertahanan udara
akan terletak juga pada kemampuan pengendalian udara yang mencakup: Supremasi
udara (air supremacy) yaitu keadaan yang didefinisikan sebagai tingkat
superioritas suatu angkatan udara di mana lawan tidak mampu mengintervensi
secara efektif.
Keunggulan udara
(air superiority) yaitu keadaan yang didefinisikan sebagai tingkat dominasi
oleh suatu angkatan udara untuk dapat melakukan operasi darat,laut,dan udara
tanpa dapat dicegah. Terakhir, keadaan udara yang menguntungkan (favorable air
situation) di mana situasi pertahanan udara masih sangat terbatas oleh ruang
dan waktu sehingga dimungkinkan terjadi intervensi udara oleh musuh.
Operasi
pertahanan udara (hanud) terbagi atas hanud aktif dan pasif. Hanud aktif
mencakup langkah-langkah seperti penggunaan pesawat, senjata langsung, dan
tidak langsung pertahanan udara dan peperangan elektronik. Kegiatan dalam
operasi ini meliputi deteksi (elektronis dan visual), identifikasi (elektronis,
korelasi,dan visual),dan penindakan (pesawat tempur sergap,rudal jarak
sedang,dan rudal taktis) terhadap ancaman kekuatan musuh.
Hanud pasif
mencakup semua tindakan selain pertahanan udara aktif, yang diambil untuk
meminimalkan efektivitas tindakan musuh dan ancaman rudal.Termasuk antara lain
kamuflase, persembunyian, penipuan, pemulihan, deteksi, sistem peringatan,
serta penggunaan konstruksi pelindung. Dalam konteks ini, skala ancaman menjadi
logika utama bagi pembangunan postur pertahanan udara yang sesuai dengan
kondisi terkini untuk mengidentifikasi strategi penangkalan yang efektif dimana
di dalamnya organisasi TNI, personel, dan kapabilitas alutsista berada.
Ketiga komponen
mendasar dalam postur pertahanan inilah yang akan menentukan sejauh mana negara
siap melindungi segenap wilayahnya. Komponen alutsista dalam konteks ini
menjadi faktor utama bagi kedua komponen lainnya. Karena itu,persoalan
alutsista bukanlah persoalan yang mudah. Isu seputar transparansi anggaran
hanyalah porsi kecil dari kompleksitas pengadaan alutsista. Ketika anggaran
selalu menjadi fokus utama, masalah perencanaan kebutuhan alutsista yang
sebetulnya menjadi sumber dari permasalahan sering menjadi terabaikan.
Rencana Hibah
Mencermati
rencana beli hibah F-16 C/D yang diriuhkan, kita harus mengaitkan pada
perimbangan kekuatan udara kawasan. Dengan skenario hibah nanti akan ada
beberapa jenis pesawat di kawasan di antaranya:
(1) F-16 C/D
hibah yang dibekali radar APG-68(v) dengan kemampuan mencari 80 mil laut;
(2) F-16 D+ Block
52 yang dibekali APG-68(v)9 dengan kemampuan mencari 160 mil laut;
(3) JAS-39 Gripen
yang dibekali radar PS-05/A dengan kemampuan mencari 160 mil laut;
(4) Su-30 MKI
yang dibekali NIIP N011M Bars dengan kemampuan mencari 173 mil laut.
Jarak jangkau
radar pesawat hibah kelak, jika dihadapkan terhadap pesawat negara kawasan,
hanya akan mampu menangkap target di jarak 80 mil laut. Padahal, pesawat negara
kawasan seperti F-16 D+ Block 52, JAS 39 Gripen,dan Su-30 MKI sudah mampu
menangkap target sejak di jarak 160 Nm-173Nm. Ditambah dengan teknologi IFF
(Identification Friend or Foe) yang dimilikinya barisan pesawat kawasan telah
memiliki interrogator sehingga apa yang tertampil di radar akan langsung
terbaca sebagai lawan atau kawan.
Keadaan ini
menjadi lebih rumit di masa perang jika suatu hari tanpa terduga negara kita
dihadapkan pada seranganudara. Jika kita asumsikan pesawatpesawat musuh adalah
F-16 D+ Block 52, JAS 39 Gripen,dan Su-30 MKI, selain sudah menangkap target
sejak di 160-173 mil laut, mereka dapat mengaktifkan kemampuan ECCM/ anti
jamming, melaksanakan mekanisme notching. Hal ini akan dilakukan pesawat musuh
untuk mencegah radar pesawat hibah menangkap posisi mereka hingga bisa lepas
dari jarak tembak efektif misil Amraam atau R27RI di 40-45 mil laut.
Permasalahan
lain, 24 pesawat hibah kita yang terdiri atas double seater dan single seater
rata-rata sudah mencapai usia 6.500 jam terbang sehingga yang akan tersisa
hanya +1500 jam terbang. Mengingat time line delivery pesawat hibah kita pada
2014,ini akan menjadikan pesawat hibah hanya dapat digunakan +10 jam/bulan agar
bisa digunakan hingga 2024, saat pesawat tersebut siap digantikan oleh pesawat
tempur KFX kerja sama kita dengan Korea.
Jumlah penggunaan
jam tersebut sulit diwujudkan karena fungsi pesawat tempur kita memiliki tugas
rangkap, baik sebagai pesawat latih, pesawat pengamanan, maupun sebagai pesawat
pertahanan udara. Artinya, usia pesawat hibah akan lebih pendek dari 10 tahun
dan akan terdapat jeda kekosongan kekuatan pertahanan udara kita antara usainya
waktu penggunaan pesawat hibah dan datangnya pesawat KFX.
Kemampuan untuk
mengidentifikasi sisi kelemahan pertahanan udara kita terhadap ancaman
merupakan langkah awal yang strategis dalam membangun kekuatan sistempertahanan
dan postur. Mengingat persoalan kepentingan nasional tidak mengenal istilah KNM
(Kepentingan Nasional Minimum), penetapan Minimum Essential Force (MEF)
haruslah turun dari logika pembangunan pertahanan negara yang didasarkan pada
identifikasi ancaman terhadap kepentingan nasional yang harus tetap terjaga.
Karena itu,
ukuran akan perubahan geopolitik kawasan, spektrum ancaman, kuantitas alutsista
yang berkualitas, dan perimbangan kekuatan relatif menjadi hal terpenting yang
harus digaris bawahi.Bukankah lebih baik kita memiliki lebih sedikit pesawat
tempur yang memiliki kualitas perimbangan daya tempur relatif terhadap kekuatan
udara kawasan dibandingkan mengedepankan kuantitas dengan segala
keterbatasannya?
Polemik pembelian
alutsista TNI dapat dihindari dengan berpedoman pada grand strategy pertahanan,
program pembangunan jangka pendek, menengah, dan panjang bagi kebutuhan satuan
skuadron, kebijakan serta politik anggaran yang tepat dan tidak selalu
memutuskan pembelian alutsista dengan orientasi keterbatasan, serta fluktuasi
dan alokasi anggaran. Dalam mewujudkan kepentingan nasional, supremasi udara
dan citacita TNI AU akan The First Class Air Force,pepatah telah mengatakan:
Nervi Belli Pecunia Infinita, anggaran tak terbatas merupakan kekuatan perang
itu sendiri.
Oleh :
CONNIE
RAHAKUNDINI BAKRIE/Direktur Institute of Defense and Security Studies-Indonesia
Maritime Institute,Dosen FISIP Universitas Indonesia



No comments:
Post a Comment