![]() |
| Jaringan media internasional (Illustras |
Dalam mendukung suatu
drama politik, media tidak segan-segan menerbitkan berita-berita bohong alias
hoax. Koran New York Times (NYT) misalnya, selama konflik
Ukraina selalu menyuguhkan berita-berita yang menyudutkan pemerintah Rusia,
seperti pemberitaan bahwa pasukan khusus Rusia bergerak di timur wilayah
Ukraina. Pemberitaan ini jelas dibantah Rusia. Kebohongan lain yang dilakukan
NYT misalnya menyebut Presiden Vladimir Putin memiliki kekayahaan rahasia
sebesar $40-$70 juta dollar.
Contoh lain rekayasa
berita dilakukan oleh CNN, ketika rejim Saddam Husein jatuh, publik dunia
melihat rakyat Irak ramai-ramai meruntuhkan patung Saddam Husein seolah-olah
sebagai ekspresi gembira mereka terbebas dari tirani. Fakta sebenarnya adalah,
peristiwa tanggal 9 April 2003 terjadi atas perintah seorang Kolonel Marinir
Amerika dan bukan aksi spontan rakyat pada waktu itu. Prosesi peruntuhan patung
itu lalu dimanfaatkan oleh seorang perwira intelijen militer Paman Sam untuk
mempropagandakan bahwa rakyat Irak senang dengan kejatuhan Saddam.
Bagaimana bisa media
melakukan kebohongan? Tetapi jika merujuk kembali pada peran media sebagai
lembaga politik dan memiliki hubungan dengan intelijen, kebohongan itu tampak
menjadi “sah-sah” saja.
Mewaspadai Drama Politik
Drama politik tidak saja bisa dibuat atau diciptakan
media-media konvensional, kini dengan hadirnya internet, media-media cyber
dapat menyodokkan krisis politik secara massif. Contoh saja kasus perkosaan
massal gadis Tionghoa pada rusuh Mei 1998 lalu, Selang beberapa waktu dari
kerusuhan yang banyak menelan korban meninggal itu, tiba-tiba muncul berita
ratusan amoy diperkosa. Padahal tak ada satu wartawan pun yang mendapatkan
berita itu, meski mereka tersebar di berbagai pelosok tempat kejadian. Lantas
darimana sumbernya, sehingga tak ada wartawan yang tahu?
Usut punya usut, ternyata awal ceritanya juga bermula
dari internet. Di salah satu news group (news: soc.culture.indonesia)
di internet dikutip cerita pengakuan seorang perempuan bernama Vivian serta
beberapa perempuan keturunan Cina lain yang diperkosa ramai-ramai oleh orang
pribumi. Yang keterlaluan, dikisahkan para hidung belang itu berkata,
"Kamu diperkosa karena kamu Cina dan non muslim," lantas bertakbir sebelum
memperkosa.
Celakanya, cerita seperti ini dipercaya begitu saja oleh
kalangan pers dengan mem-blow up besar-besaran. Padahal berbagai media itu juga tidak berhasil mendapatkan perempuan-perempuan yang menjadi korban, seperti halnya kalau wartawan koran kriminal memberitakan kasus pemerkosaan biasa.
Para aktivis feminisme seperti mendapat durian runtuh
ketika mendapakan issu ini. Mereka sibuk menggerakkan demo menentang perkosaan massal yang tidak jelas siapa dan dimana korbannya itu. Lantas membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bersama berbagai pihak lain untuk menyelidikinya.
Meski demikian, issu itu
terus menggelinding hingga ke luar negeri. Surat kabar Sidney Herald Tribune dan New York Times yang bertiras besar tak
ketinggalan memuat issu ini pula. Membuat citra buruk di dunia internasional bahwa orang Indonesia biadab.
Keraguan akan
benar-tidaknya isu perkosaan amoy itu pun diungkapkan sebuah artikel di Asian
Wall Street Journal yang berjudul “Some Indonesia Rape Photos
on the Internet Are Frauds” ditulis oleh dua orang reporter Wall
Street Journal, Jeremy Wagstaff dan Jay Solomon. Sekarang artikel tersebut
sudah tidak didapati, kecuali jika anda mengakses arsip rtikel itu selengkapnya
dapat dibaca di situs IHCC : http://reocities.com/capitolhill/4120/false.html.
Contoh lain peran media dalam memojokkan Indonesia atau
menggiring langkah-langkah pemerintah, yaitu ketika Krisis Moneter 1998. Tepatnya bulan Januari 1997, ketika rupiah
mengalami fluktuasi tak terkendali antara 7.100 – 7.800 per dollar dalam satu
hari, dua bank Indonesia membeli rupiah dalam jumlah besar, tindakan tersebut
berhasil menurunkan rate kurs di bawah 7.000 untuk sementara. Anehnya, Far
Eastern Economic Review mengkritik upaya pemerintah Indonesia
menyelamatkan perekonomian negaranya sendiri dengan menyebutnya sebagai "upaya
terang-terangan untuk mendistorsi pasar." Tindakan Indonesia ini
pun membuat marah para spekulan : dalam beberapa hari rupiah jatuh lebih
dari 8.000 terhadap dolar, dan lebih dari 10.000 pada
pertengahan Maret 1997.
Skema peran itulah yang akan terus diulangi oleh
media-media, terutama media asing, dalam kultur global yang telah kehilangan
batas-batas geografisnya, informasi dapat menjadi senjata mematikan terlepas
dari benar atau tidaknya informasi tersebut. Di Jerman, para pelajar dan
mahasiswa Indonesia dengan bebas mengunduh tulisan-tulisan Aditjondro lalu
menyebarluaskannya tanpa proses kroscek terlebih dahulu.
Masalahnya, menurut
sosiolog UI yang juga pengamat internet Imam B Prasodjo, dalam dunia riil kerap terjadi ketidaksetaraan penguasaan informasi (unequal information). Kelompok kuat (dominant group) memiliki akses untuk menyebarkan informasi, sementara kelompok lemah (less dominant group) hanya menjadi objek. Sehingga cenderung terjadi fenomena dominasi dan eksploitasi satu pihak pada pihak yang lain.
Fakta ini menegaskan,
internet --termasuk mailing list (milist)-- meski masih terbatas penggunanya pada kalangan menengah ke atas yang sedikit jumlahnya, tapi karena yang sedikit itu adalah kelompok dominan, maka peran internet tidak bisa lagi dipandang dengan sebelah mata.
Seperti mMenurut Wakil
Menteri Pertahanan Sjafrie Samsoedin bahwa dunia strategi dan pertahanan sedang
memasuki babakan baru, yakni perang asimetris. ”Kita harus menanggalkan cara
berpikir perang konvensional. Banyak hal yang terjadi tanpa disadari adalah dampak
perang asimetri. Media digunakan sedemikian rupa mengumbar sensasi. Perang
asimetri itu bukan menghadapkan senjata dengan senjata atau tentara melawan
tentara,” ujarnya.(Kompas 28/3/2011)
Penulis : Sofyan Ahmad


