
“Sebagai
negara majemuk, potensi munculnya radikalisme di tengah masyarakat sangat
tinggi, apalagi jelang digelarnya Pilkada Serentak. Karena itu, pemerintah,
terutama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mesti mewaspadai
kemungkinan itu sedini mungkin,” ujar salah satu anggota kelompok ahli BNPT,
Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH, MH, di Jakarta, Kamis (1/2/2018).
Menurutnya,
masyarakat itu terbagi dalam tiga lapisan yaitu elit, menengah, dan akar rumput
(bawah). Dari ketiga lapisan itu, lapisan akar rumput yang paling mudah
terprovokasi, sementara kalangan elit adalah kelompok yang bisa memprovokasi,
sedangkan kelompok menengah relatif netral dan tidak terlalu mempersoalkan
siapa yang mau jadi pemimpin.
“Kalangan
kelas atas biasanya punya desain untuk mempertahankan posisi mereka. Caranya
dengan masuk partai politik dan pergaulan elit lainnya. Meski jumlahnya
sedikit, kalangan atas yang memiliki uang inilah yang bisa kerjasama atau
membiayai provokator,” kata pria yang juga rektor Universitas Muhammadiyah
Jakarta (UMJ) ini.
Karena
itu, ia mengajak seluruh masyarakat untuk mewaspadai terjadinya provokasi dan
kampanya hitam, apalagi mengatasnamakan SARA dalam Pilkada Serentak nanti.
Semua harus sepakat untuk mempertahankan kondisi seperti sekarang ini yaitu
Indonesia damai, tenteram dan bahagia, sebagai kepentingan nasional yang
mutlak.
Mantan
Wakil Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2010-2015
menilai, keberadaan pengamat juga bisa menjadi pemicu terjadinya keributan saat
pelaksaan pemilu. Ia melihat, banyak pengamat kadang datangnya secara mendadak
dan malah tidak punya kompetensi bisa tampil di media.
“Apakah
benar orang yang sekolahnya ekonomi, politik, sosial, hukum, bisa menjadi pengamat?
Ilmu itu spesifik keahliannya. Orang yang punya potensi keahlian spesifik
itulah yang harusnya bicara, Kalau tidak bisa mengakibatkan sentimen dan
kontroversi di masyarakat. Belum lagi kalau pengamat itu by order. Pengamat
seperti ini bisa jadi hanya akan menambah emosional masyarakat,” terang
Syaiful.
Begitu
juga lembaga survei, semua harus dilakukan secara akademik dan terbuka.
Seharusnya hasil survei jangan dipublikasi dan hasilnya digunakan untuk
merancang program calon atau partai politik tertentu. Pasalnya, survei itu
dilakukan dengan metode berbeda-beda sehingga hasil survei pun tidak sama. Itu
bisa mengganggu harmonisasi dan gampang memancing keributan di masyarakat.
Ia
menyarankan agar dikembangkan seminar akademik terbuka. Menurutnya, universitas
bisa dirangkul dan digerakkan sebagai menara gading keilmuan untuk memberi
pencerahan untuk melakukan survei. Memang kadang-kadang hasil survei yang
dilakukan universita berlawanan dengan hasil survei dan pengamat. Tapi itulah
bingkai yang harus diperhatikan.
“
Kita semuanya harus jadi ‘polisi’ bagi negeri kita, bukan hanya polisi
berseragam itu, tapi diri kita dan masyarakat. Dengan pembelajaran yang bagus
dan metodologi yang logis, maka kita dan masyarakat akan bisa menjaga sendiri
sehingga tidak mudah termakan provokasi. Karena betapa mahalnya provokasi itu
karena akibatnya adalah kerusakan harta benda, mungkin nyawa, dan itu tidak
bisa dipulihkan. Siapa yang akan menggantinya? Akhirnya korbannya makin
panjang,” kata Prof. Syaiful Bakhri mengakhiri. (Adri Irianto)
No comments:
Post a Comment